Kopi Berbaur di Kebun Petani

oleh Gregorius Amadeo

Pohon kopi biasa tumbuh di sekitar kaki gunung. Ia sensitif terhadap suhu, curah air hujan, dan sinar matahari, sehingga perlu tumbuh secara layak sebelum dipanen sebagai komoditas. 

 

“Tanaman kopi itu kan sensitif dengan cahaya, dengan suhu, dengan curah hujan. Bukan sensitif, ya. Mungkin [kopi] punya threshold (ambang) sendiri untuk optimal. Intinya adalah [bagaimana cara] mengurangi stres tanaman tersebut sehingga mereka bisa tumbuh optimal. Sebenarnya, tanaman [bisa saja] survive, cuma mungkin karena stres jadi produktivitas menurun,” tutur peneliti muda Pusat Wanatani Dunia atau International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF) pada 2012-2014, Dinna Tazkiana.

 

Pohon kopi sulit untuk tumbuh baik tanpa perlindungan pohon naungan. Uden Banu, anggota Koperasi Klasik Beans, menjelaskan bila petani-petani di daerah Gunung Puntang, Kabupaten Bandung menanam pohon kopi di bawah lindungan pohon pinus. Pohon pinus yang sudah tumbuh di lahan Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perhutani) tidak boleh ditebang, kemudian petani menjadikan pinus sebagai pelindung kopi-kopinya.

“Ya, [pohon pinus] enggak bisa disadap. Kalau kita sebagai petani terus kita nebang pohon [dari lahan Perhutani] itu, ya kita dikenai pidana juga. Enggak boleh. Ya, di sini yang berjalan ya, alpukat, jeruk. Apakah bagus, ya? Sepanjang tidak ngerusak, sepanjang tidak ngebabat hutan, ya bagus-bagus aja buat kita mah,” ujar Uden dari koperasi yang bergerak dibidang pemberdayaan petani kopi ini.

 

Selain alasan Perhutani melarang penebangan pinus di lahannya, petani di Gunung Puntang juga memiliki alasan untuk kopi harus bernaung di bawah pohon pinus. Uden menjelaskan tentang karakteristik pohon kopi secara umum tidak bisa menerima terlalu banyak cahaya sinar matahari dan kenaikan suhu yang drastis. Perlu adanya peran pohon-pohon besar untuk melindungi pohon-pohon kopi petani.

“Wajib ada pohon [sela untuk] tumpang sari. Nah, di samping itu juga kebutuhan kebun tentang cahaya matahari itu, kan, sekitar 40-50 persen. Jadi ya, kebun kopi itu tidak bisa terlalu redup dan terlalu terang juga. Makanya, kita sarankan di samping kopi ada juga pohon naungan,” jelas pria berambut ikal ini.

 

Sementara itu, petani kopi dari Banyuwangi, Hanaki (60), juga melakukan hal yang sama. Hanaki turut menanam pohon durian, pisang, dan sengon di lahan miliknya. Hanaki berkata alasannya tidak lain untuk melindungi pohon kopi jenis arabika yang tidak bisa terkena sinar matahari terlalu banyak. Oleh karena itu, petani memerlukan payung untuk melindungi pohon kopinya. 

 

Ceri kopi yang masih hijau beriringan dengan tanaman-tanaman lain di kebun Hanaki di Dusun Ampelgading, Kabupaten Banyuwangi (Foto: Gracia Yolanda)

Title

Teknik tanam dengan mencampur dua atau lebih tanaman di satu area dalam satu waktu bersamaan disebut tumpang sari atau agroforestri. Petani kopi memerlukan pola tanam tumpang sari agar bisa membudidayakan kopi jenis arabika, jenis dengan nilai ekonomis lebih tinggi dari jenis-jenis kopi lainnya. Apabila tidak ada keterikatan aturan seperti petani Puntang dengan Perhutani, petani kopi biasanya menanam pohon buah-buahan atau pohon kayu untuk mendampingi kopi.

 

Oleh karena itu, Hanaki juga menanam pohon durian, pepaya, pisang, dan sengon di lahan 500 meter persegi miliknya. Tidak hanya Hanaki, anggota Koperasi Klasik Beans, Uden Banu juga menjelaskan bila petani-petani dalam koperasi ini turut melakukan pola tanam tumpang sari. Uden Banu menerangkan bila sebaiknya petani menanam pohon buah-buahan untuk mendampingi pohon kopi.

 

“[Justru] yang jangan itu adalah menanam pohon keras tetapi kayunya dipakai. Coba misalkan, jenjen–sengon–, jati itu dibikin pohon naungan. (Kemudian) pada saat motong ‘kan ngegundul kena kopi. Itu yang gak boleh, tetapi bagusnya pohon naungan itu adalah buah-buahan karena untuk kekosongan [ekonomi] itu tadi,” ujar Uden Banu.

Petani Bisa Menghemat Biaya Pupuk

 

Pakar agroforestri, Elok Mulyoutami, menerangkan bila praktik tumpang sari dibagi menjadi dua jenis, yaitu agroforestri sederhana dan agroforestri setelah monokultur. Agroforestri sederhana terjadi saat petani menanam berbagai jenis tanaman di dalam kebun. Biasanya, petani melakukan ini untuk bisa memperoleh keuntungan yang banyak dari berbagai komoditas di lahannya. Praktik agroforestri sederhana dapat dijumpai salah satunya di Suroloyo, Kulon Progo, Yogyakarta. 

 

Petani kopi di daerah Suroloyo membebaskan lahannya untuk ditanami apa saja. Ngatiman menjelaskan alasan dirinya dan asosiasi petani di Suroloyo adalah ekonomi. Laki-laki berumur 45 tahun ini menerangkan bila kopi setahun hanya panen besar sekali, biasanya berlangsung pada tengah tahun. Namun, petani juga memerlukan pemasukan dari komoditas lain pada untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Petani di Suroloyo terbiasa untuk menanam banyak tanaman di kebunnya atau bisa disebut sebagai agroforestri sederhana. Mereka tidak menekankan salah satu komoditas sebagai tulang punggung di kebunnya. Ngatiman menjelaskan kondisi ini terjadi karena sejak awal petani tidak melakukan manajemen kebun untuk mengoptimalkan penataan kebun. Kondisi ini juga didorong oleh kebutuhan petani memenuhi kebutuhan ekonomi. Ngatiman berkata bila petani di Suroloyo akan menanam komoditas menyesuaikan jangka panen, baik jangka menengah dan panjang.

 

“Pada umumnya, semuanya kalau di sini enggak ada istilah [tanaman] hasil utama. Jadi, semua saling mengisi semua. Kalau kita utamakan mungkin kopi lebih bagusnya ‘kan, memang harus dengan sistem pola tanam yang bagus juga, dengan jarak tanam yang ideal. Lalu, naungan juga terbatas, seperlunya saja. Kemudian, [kondisi di kebun juga] tanpa ada tanaman sela–tanaman-tanaman lain di sela tanaman utama,” ujar Ngatiman.

Sementara itu, agroforestri setelah monokultur merupakan aksi tumpang sari terhadap lahan yang sebelumnya hanya ditanami satu jenis tanaman kemudian diubah. Elok mengatakan bila petani mengubah kebun monokultur untuk memperbaiki kondisi kebun supaya ekosistemnya dapat terjaga. Petani berharap agar kebun polikultur mampu membawa kesuburan kembali di lahannya.

 

“[Penanaman monokultur] itu kan yang justru sebenarnya buat lingkungan kurang, ya. Itu jadinya tidak beragam. Binatang jarang ada yang mau menempati di situ. Nah, kalau [kebun] ada tanaman-tanaman tingginya, itu baru mulai agak bisa mirip hutan lagi sedikit. Itu yang bisa membantu ekosistem dan lingkungan,” papar Elok.

Tumpang sari mampu memberikan nilai ekonomi tambahan bagi petani. Penelitian yang dilakukan oleh Silitonga, Salmiah, dan Sihombing pada 2013 menjelaskan petani di Desa Tanjung Beringin, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara berpotensi mendapat keuntungan lebih besar dibandingkan petani yang menanam secara monokultur. Petani di desa tersebut biasanya menanam pohon kopi bersama tanaman sayur mayur, seperti cabai, kol, tomat, dan sawi putih.

 

Petani di Desa Tanjung Beringin dapat memperoleh keuntungan sebesar Rp 40 juta pertahun dari tanaman pendamping kopi, sedangkan kopi arabikanya hanya Rp 22 juta pertahun. Tidak hanya keuntungan setelah panen, kebun tumpang sari di Desa Tanjung Beringin juga dilaporkan memiliki ukuran ceri kopi yang lebih besar. Petani melalui penelitian tersebut menjelaskan penggunaan pupuk dan pestisida berkurang karena pohon kopi mendapat nutrisi dari tanaman sela di sekitarnya.

Selain mendorong pendapatan tahunan, pemanfaatan tumpang sari bisa menjadi ruang untuk membagi risiko. Hasil Hanaki pada tahun 2022 turun karena perubahan iklim yang menggagalkan proses pembuahan pohon-pohon kopinya. Namun, Hanaki juga menanam tanaman lain di kebunnya, seperti durian, manggis, dan pisang. Buah-buah itu menjadi pemasukan darurat yang kemudian dijual oleh istrinya di warung kelontong mereka. Tidak hanya Hanaki yang terdampak oleh perubahan iklim, petani dari Koperasi Klasik Beans juga mengalami penurunan hasil panen. Tentunya, petani-petani lain di seluruh Indonesia juga terdampak oleh itu.

 

Ketika petani membagi risiko untuk tidak menggantungkan diri pada satu komoditas, mereka bisa semakin bertahan di tengah kondisi yang tidak stabil. Peneliti ICRAF pada 2012-2014, Dinna Tazkiana menerangkan dalam setahun, petani bisa menerima pendapatan dari komoditas lain, terutama saat kopi belum panen dalam rentang April hingga September. 

Tidak hanya peningkatan ekonomi petani, tumpang sari juga bisa berperan positif terhadap lingkungan di sekitar kebun. Dampak ekonomi yang petani kopi Tanjung Beringin rasakan  adalah manfaat serasah-serasah dari tanaman lain terhadap pohon kopi. Ketika pohon-pohon menggugurkan daun, batang, dan buah, guguran itu akan jatuh ke tanah dan perlahan membusuk. Pembusukan atau dekomposisi itu mampu menjadi nutrisi lagi bagi tanaman-tanaman di sekitarnya, termasuk pohon kopi. Dinna Tazkiana menjelaskan pula bila serasah-serasah di lahan tumpang sari bisa menjadi pengatur suhu di kebun. Serasah-serasah ini menumpuk di atas tanah dan berfungsi sebagai tameng saat musim kemarau.

 

“Nah, [agroforestri] juga sangat bermanfaat ketika musim paceklik berkepanjangan. Ketika temperatur naik, [tanaman] butuh kelembaban tanah, [serasah ini] membantu sekali. Ketika hujan enggak turun, jangan sampai sudah suhu udara tambah panas terus [tanahnya jadi] kering,” jelas Dinna.

Warga yang membawa tumpukan rumput melewati kebun kopi di Perkebunan Kalibendo, Kabupaten Banyuwangi (Foto: Gregorius Amadeo)

Pisang untuk Makanan Monyet

 

Uden Banu juga mengisahkan peran tumpang sari menjaga keseimbangan alam Garut. Kejadian bermula saat kebun petani diserbu oleh monyet-monyet pada 2014. Saat itu, monyet-monyet turun ke kebun kopi petani untuk mencari makan. Namun, sumber makanan monyet sudah tidak ada.

 

Alhasil, monyet-monyet memakan ceri kopi di kebun mitra Koperasi Klasik Beans di Garut. Uden menceritakan setelah mendalami kasus serbuan monyet tersebut, pihaknya memberikan solusi untuk menanami pohon pisang di sepanjang batas kebun dan hutan. Pohon pisang dipilih sebagai alternatif makanan untuk monyet agar tidak lagi memakan ceri kopi. Kemudian, pohon-pohon pisang ini berfungsi sebagai pagar untuk monyet-monyet di hutan.

 

“Kita melihat lingkungan itu karena di atasnya udah, hutannya udah gundul. Jadi, dia enggak punya makanan. Pada saat enggak punya makanan, ya gimana caranya? Karena kita enggak mungkin ngasih makan tiap jam makan siang monyet. Gak mungkin kan? Ya sudah, kita tanam pohon pisang yang berbatasan dengan hutan,” jelas Uden saat ditemui di Gunung Puntang pada Rabu (14/9/2022).

 

Manfaat tumpang sari bagi petani berjalan berdampingan. Saat aspek lingkungan membaik, aspek ekonomi juga mengikuti petani. Dinna bersama ICRAF menekankan manfaat servis ekosistem (ecosystem services) dari implementasi tumpang sari. Dinna memaparkan bila terdapat empat aspek fundamental yang dicapai petani melalui tumpang sari, antara lain aspek provision (ketersediaan), aspek regulasi, aspek support services (dukungan), dan aspek kultural.

 

Sederhananya saat petani mengimplementasikan tumpang sari, mereka mendapat ketersediaan hasil panen yang beragam dari lahannya. Tidak hanya petani memiliki pemasukan yang beragam, lahan mereka secara sendirinya mampu menjaga siklus air, microclimate –iklim kecil di dalam lahan tersebut–, dan proses pembuahan. Proses pembuahan bisa berhasil karena banyak serangga yang membantu penyerbukan. Kemudian, tanaman bisa menerima nutrisi dengan baik karena tanaman-tanaman bisa saling membantu, seperti pohon kopi yang menerima nutrisi dari tanaman yang berakar lebih panjang darinya. 

 

Biodiversity dari lahan itu jadi ada manfaatnya kayak lebah itu mempolinasi, ya,” jelas Dinna. “Diversity pokoknya di mana-mana yang namanya diversity akan meningkatkan stabilitas, gitu. Termasuk, pada ekosistem gitu ketika ekosistem itu diverse, maka dia akan lebih stabil.”

 

Terakhir, tumpang sari bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan sosio-kultural masyarakat setempat. Dinna menggambarkan dengan contoh petani menanam pohon pisang di lahannya. Petani menanam pisang untuk memenuhi kebutuhan budaya untuk acara adat dan sebagainya. Oleh karena itu, pemanfaatan tumpang sari bisa berguna baik secara ekonomi, lingkungan, sosial budaya petani.

Angkutan kota melewati kebun kopi dan cengkih di Perkebunan Kalibendo, Kabupaten Banyuwangi. Perkebunan Kalibendo dimiliki oleh perusahaan swasta, PT. Perkebunan Kalibendo (Foto: Gregorius Amadeo)

Tumpang sari sudah umum di mayoritas kebun di Indonesia. Praktiknya sudah banyak diimplementasikan oleh petani rakyat di berbagai daerah di Indonesia. Melalui penelitiannya, Elok Mulyoutami menjelaskan bila petani di Pagar Alam, Lampung, sudah mengenal praktik ini sejak masa penjajahan Belanda saat pemberlakuan tanam paksa kopi di sana. Namun, Elok bersama ICRAF tidak berani untuk memberikan dikte tanaman apa yang paling cocok untuk menemani pohon kopi. 

 

“Paling kita hanya bisa membagikan pengetahuan-pengetahuan [tanaman sela] itu. Pohon ini misalnya punya karakteristik begini-begini. Nah, itu aja. Jadi, mereka akan memilih sesuai yang mereka kira itu cocok,” tutur Elok.

 

Elok menekankan supaya petani dapat memilih sendiri tanaman sela yang dirasa terbaik untuk berada di kebunnya. Namun, Elok juga menyarankan agar petani dapat memilih tanaman sela yang sudah memiliki pasar. 

 

“Kita juga menyarankan kepada mereka bahwa jangan sampai menanam pohon-pohon yang enggak ada pasarnya. Jadi, biasanya mangga, kita yakin dulu gitu misalnya mangga, nangka, dan lain-lain, itu mereka mudah menjualnya. Kalau tidak dijual keluar cukuplah di sekitar mereka atau untuk dikonsumsi sendiri tapi, intinya itu bermanfaat, juga demikian dengan tanaman kayunya,” jelasnya.

 

Praktik tumpang sari secara umum berdampak positif terhadap ekonomi petani dan aspek lingkungan di kebun. Produktivitas kebun dapat dioptimalkan untuk mendapat untung yang maksimal. Sementara itu, pohon kopi dapat berlindung dari sinar matahari langsung dan suhu tinggi. Pola tanam yang sudah melokal ini juga mampu mendorong petani agar dapat memanajemen kebunnya dengan baik.

 

“Manajemen di kebun itu merangkap sebagai petani, melihat kebun dan lingkungan sekitar. Baik itu meliputi hewan-hewan yang lain dan melihat lingkungan di sini. Melihat, balik lagi, airnya, sungainya, harus diperhatikan juga,” tutur Uden.

 

Sejalan dengan Uden, Dinna juga menyampaikan bila tantangan terbesar praktik tumpang sari adalah tata kelola lahan. Petani perlu melakukan manajemen kebun yang intensif untuk bisa optimal. Pemberlakuan tumpang sari memang sudah lumrah di kalangan petani rakyat Indonesia. Namun, petani juga masih perlu dibimbing melalui masa percobaan untuk bisa mengoptimalkan potensi kebunnya.

 

“[Agroforestri] seringkali gagal karena manajemen kebunnya tricky banget untuk mendapatkan suatu optimal. Itu juga tiap lahan beda. Misalnya, saya bilang sekarang 10 meter, padahal mungkin di lahan tersebut bisa terjadi beda-beda. Jadi, [kita] ini lagi mengomunikasikan lagi bahwa mereka tetap harus trial and error juga,” ucap Dinna.

Artikel Menarik Lainnya

Sebut Namaku Kopi

Petani Kopi Mau Adu Mekanik dengan Sesama Petani

Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial
Instagram
WhatsApp