Petani Kopi Mau Adu Mekanik
dengan Sesama Petani
oleh Gregorius Amadeo
Adu mekanik adalah istilah dalam dunia permainan daring saat pemain satu mengadu keahlian mereka memainkan game tersebut bersanding dengan pemain lain. Ternyata, kondisi ini juga lumrah dalam dunia petani kopi.
“Petani kopi Jambi ingin meningkatkan kualitas dan kuantitas produk kopinya dengan cara mengundang petani kopi dari Bengkulu dengan mengadakan kegiatan pendidikan dan pelatihan selama beberapa hari,” jelas Wahyudi Rakib, dewan pengurus pusat Serikat Petani Indonesia (SPI) melalui pesan surat elektronik.
Kondisi ini terjadi karena petani lebih mudah memahami kondisi lapangan bila berbicara bersama sesama petani. Mereka akan saling unjuk kemampuan dan keterampilan dari daerah mereka dan membagikannya kepada petani di daerah lain. Anggota Serikat Petani Indonesia, Muhammad Ikhwan menjelaskan bila petani kurang suka jika hanya menerima masukan dari ahli. Ikhwan mengatakan petani kerap sulit menangkap inti dari pesan pakar ahli, seperti dari pemerintah, LSM, akademisi, atau lembaga riset.
Keadaan ini sering kali terjadi karena setting yang menempatkan petani dalam posisi objek saja, juga masih ada jarak “ahli vs petani” saat membahas kondisi di lapangan. Petani merasa pakar ahli dari luar tidak sepenuhnya mengerti kondisi dan masalah mereka di kebun, sehingga perlu metodologi, bahkan pendekatan khusus untuk mengenalkan diri, berbagi, dan mengajar di lapangan.
Belajar dari Konten YouTube
Kondisi serupa juga terjadi di Banyuwangi. Hanaki (65), petani di Banyuwangi mengatakan dirinya mempelajari ilmu bertanam secara otodidak. Tidak hanya itu, petani di sekitar Hanaki banyak yang belajar kopi dengan Hanaki. Petani kopi arabika ini mengajarkan teknik stek kepada petani-petani di sekitarnya. Daerah kebun Hanaki di Dusun Ampelgading berada di ketinggian 600 meter di atas permukaan laut (mdpl). Kondisi itu menyebabkan kopi arabika sulit tumbuh secara natural di bawah ketinggian seribu mdpl. Oleh karena itu, Hanaki harus menggabungkan batang dan akar pohon kopi robusta dengan batang kopi arabika.
Hanaki berusaha untuk memperoleh kopi arabika yang memiliki harga jual lebih tinggi. Dengan kebun seluas 500 meter persegi, Hanaki bisa memiliki ratusan pohon kopi arabika dengan teknik stek itu. Tidak hanya Hanaki, petani di sekitarnya juga bisa mendapat ilmu tersebut. Sementara itu, Hanaki juga berkisah bila dirinya banyak belajar dari video-video di YouTube.
Selain belajar secara daring dari pengalaman petani lain, terkadang petani juga dibantu oleh peneliti-peneliti yang membawa kisah dari daerah lain. Anggota Pusat Wanatani Dunia (ICRAF) pada 2012-2014, Dinna Tazkiana menjelaskan bila dirinya kerap menceritakan cara petani dari daerah lain saat mendatangi tempat penelitian baru. Hal ini dilakukan Dinna agar petani bisa mendapat referensi praktik kebun, sebagai alternatif karena tidak bisa mempertemukan kedua kelompok tani ini.
Sejalan dengan pengalaman Hanaki, Uden Banu dari Koperasi Klasik Beans juga menceritakan bila koperasi itu mengajarkan petani di Gunung Puntang, Kabupaten Bandung, dengan cara berdakwah. Menurut Uden, petani akan lebih mudah memahami pembelajaran dari koperasi dengan pendekatan nasihat dan wejangan.

Kambing milik Hanaki sebagai pemasukan cadangan dan penyedia pupuk organik bagi tanaman Hanaki (Foto: Gregorius Amadeo)
Title
“Akhirnya, pelan-pelan masyarakat di sini mau mengganti sayuran tadi dengan kopi. Kalau kita dakwahnya, ‘wah euy, sayuran mah ngarusak ulah kitu. (wah, sayuran itu merusak, jangan begitu.)’ [Kalau dakwah] kita [seperti itu] dikejar-kejar bawa golok, tapi kan kita dakwahnya beda. Dakwah kita adalah, ‘sok, urang entos, urang ganti euy, sayuranna ku kopi. Lain bibitna, pada saat panen sok jual ke urang. (ayo, kamu sudah, kamu ganti sayurannya jadi kopi. Bibitnya beda, saat panen nanti ayo jual ke kami.)’ Itu kan lebih enak dakwah seperti itu. Saya mengistilahkannya dakwah, ya. Lebih enak karena ini bagian dari dakwah, kan. Merawat alam kan dakwah,” ujar Uden.
Pendekatan itu dilakukan oleh Uden Banu dan Koperasi Klasik Beans agar petani di Gunung Puntang tidak lagi menanam tanaman sayur mayur. Kondisi ini didasari oleh kondisi topografi Gunung Puntang yang didominasi tanah labil dan mudah longsor. Oleh karena itu, Gunung Puntang memerlukan tanaman yang berakar keras seperti kopi untuk mengikat tanah.
Berkaitan dengan cara mengedukasi petani, Ikhwan menjelaskan bila petani anggota SPI lebih senang untuk berbagi dengan sesama petani atau koperasi tani. Ikhwan menyiratkan bila alasan itu muncul karena sesama petani atau koperasi dapat memberikan masukan yang lebih mudah ditangkap karena sudah satu pemahaman dengan mereka. Petani juga terdorong untuk meyakini informasi dari sesama petani karena sudah ada aksi nyata dari sesama petani alias tidak omdo –omong doang.
“Jadi, mereka bertukar [taktik] best practice-nya mereka. Cara-cara bikin value added, praktik-praktik di Bengkulu yang mungkin bisa direplikasi di Semendo dan di Lampung, gitu. Nah, itu lebih asik. Jadi, kita organisir itu,” jelas Ikhwan.
Petani Perlu Ruang Diskusi
Tidak hanya bertukar ilmu praktis, petani juga berharap untuk bisa mendapat ruang diskusi. Dinna mengisahkan saat dirinya mengunjungi daerah-daerah perkebunan, dirinya dihadapkan dengan pertanyaan petani seputar perubahan iklim. Petani penasaran mengapa curah hujan sudah tidak teratur dan sulit diprediksi.
“Mereka enggak tahu yang seperti [perubahan iklim] ini dan mereka penasaran dengan jawabannya. Mengapa dan kami [petani] bisa melakukan apa gitu untuk menghindari ini semua atau bisa menghadapi ini,” papar Dinna.
Rasa penasaran ini perlu diwadahi melalui komunikasi petani dengan banyak pihak, baik penyuluh, peneliti, sampai sesama petani. Petani ingin berusaha dan berhasil, sehingga memerlukan saluran komunikasi untuk bisa menemukan strategi berkebun dan berbisnis.
Petani perlu untuk mendapatkan ilmu untuk mengatur hal-hal selain manajemen kebun. Salah satunya adalah manajemen uang atau cara mengatur cash flow petani. Ikhwan menekankan bila petani masih sering terjebak dengan keuntungan panen tahunan dan belum secara bijak mengatur keuangan mereka.
“Cash flow si [keluarga] petani itu susah banget. Petani kita itu termasuk yang kalau bikin cash flow jelek dan enggak sustainable, gitu. [Misalnya,] panen raya tahun ini dibelikan [motor Kawasaki] Ninja, kan,” jelas Ikhwan. “Pernah gagal panen satu tahun, hancur sudah usahanya. Koperasinya hancur, gitu. Misalnya, pernah salah bikin lini bisnis, hancur sudah. [Kemudian,] itu gak ada seperti fail safe atau sokongan dari pemerintah.”
Melalui cara apapun baik co-learning atau mentoring dari ahli, petani memerlukan pembinaan lebih lanjut untuk menjaga bisnisnya agar bisa bertahan. Tidak hanya mempelajari cara mengelola kebun atau praktik pola tanam, tetapi petani juga memerlukan pembinaan agar usahanya bisa bertahan menghadapi guncangan.
Petani sudah diuji ketahanannya saat pandemi Covid-19. Petani juga perlu untuk bisa memperjuangkan usahanya agar Indonesia bisa mencapai peta jalan kopi nasional pada 2045 untuk menjadi produsen kopi terbesar di dunia. Oleh karena itu, petani memerlukan dukungan dari berbagai aspek agar dapat mempertahankan lini bisnisnya.
“Apalagi pas pandemi. Pasar, kan, susah banget, jadinya. Pasar, transportasi susah banget, dan itu enggak ada dukungan sama sekali. Kayak, UMKM itu sulit. Misalkan, menalangi panen gitu, enggak ada,” papar Ikhwan. “Jadi boleh dikata, ini ada kopi Indonesia itu kerja kerasnya petani, hampir enggak ada lagi peran yang lain.”