Sebut Namaku Kopi
oleh Gregorius Amadeo
Banyak kopi Indonesia yang ada di pasaran. Setidaknya terdapat nama Kopi Aceh Gayo, Kopi Mandailing, Kopi Jawa Ijen-Raung, dan Kopi Bajawa Flores di dalam data Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI) Indonesia. Nama-nama tersebut digunakan untuk mengindikasikan asal geografis produksi kopi yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, penikmat kopi bisa semakin memahami karakteristik dan ciri khas kopi dari daerah tertentu. Menurut Subkoordinator Pemeriksa Indikasi Geografis Ditjen HKI dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Gunawan, sudah ada 41 produk kopi yang terdaftar dalam indikasi geografis hingga November 2022.
Namun, apa peran indikasi geografis bagi produksi kopi di Indonesia? Menurut penelitian yang lakukan oleh Cinzia Piatti dan Angga Dwiartama menerangkan bila indikasi geografis pertama kali digunakan untuk pengenalan produk lokal, yang muncul setelah setelah Perang Dunia Kedua. Indikasi geografis hadir untuk mendorong ekonomi daerah dengan memperkuat pengakuan hasil produk dari daerah-daerah lokal. Mudahnya, indikasi geografis mampu memberikan ruang pasar karena produk lebih mudah dikenal.
Sebelum mulai ramai diimplementasikan di berbagai penjuru dunia pada 1990, konsep indikasi geografis berangkat untuk mengenalkan gagasan terroir –sebuah gagasan untuk mengenalkan sebuah produk berdasarkan lokasi geografis atau wilayah. Masyarakat Eropa sejak lama sudah menggunakan gagasan ini untuk mengenalkan produk pertanian-pangan mereka.
Contoh awal dari gagasan terroir adalah keju dan wine. Setiap daerah di benua Eropa memiliki karakteristik keju masing-masing mulai dari keju cheddar, keju parmesan, dan masih banyak lagi. Kondisi yang sama terjadi saat mengenalkan produk wine dari setiap daerah di negara-negara Eropa.
Konsep indikasi geografis memungkinkan produk kopi diperkenalkan sebagai produk khas suatu daerah. Oleh karena itu, kopi tidak hanya dijual sebagai komoditas tetapi bisa membagikan cerita dan budaya di balik prosesnya. Mark Granovetter mendapati beberapa kultur, nilai, praktik yang spesifik untuk dijabarkan dan dijadikan standar. Hal ini melandasi pembentukan hak kekayaan intelektual (HKI) kepada pihak-pihak yang ingin mengajukan indikasi geografis untuk produknya.
Gunawan mengatakan bila implementasi indikasi geografis di Indonesia baru saja mulai. Gunawan menerangkan bila indikasi geografis sudah dipahami secara mendalam di Eropa, bahkan sampai ke tingkat petani. Bahkan, Gunawan dan kolega juga belajar ilmu tentang indikasi geografis di Italia atau Perancis sebagai perbandingan.
Indikasi geografis masih belum lumrah di telinga masyarakat. Menurut pemaparan Gunawan, hak paten adalah hak eksklusif bagi investor atas inovasi temuannya. Sedangkan, indikasi geografis adalah pengakuan identitas kedaerahan atas produk yang ada dari daerah tersebut.
Kopi kedaerahan memang sudah mulai dikenal, seperti Kopi Arabika Gayo, Kopi Arabika Kintamani, dan Kopi Arabika Hyang Argopuro. Namun, kopi kedaerahan ini tidak mendapat perlindungan hukum bila perkumpulan masyarakat dari daerah tersebut tidak mendaftarkan produknya sebagai sebuah identitas yang unik. Bila tidak didaftarkan, kopi kedaerahan ini tidak memiliki perlindungan hukum bila nantinya ada pihak yang menyalahgunakan identitas mereka.
Ketika tidak memiliki perlindungan hukum, bisa saja nantinya produsen kopi dari daerah lain mengklaim produknya adalah Kopi Mandailing. Kondisi inilah yang terjadi di Gunung Puntang, Kabupaten Bandung sebelum mereka mendaftarkan indikasi geografisnya menjadi Kopi Arabika Java Preanger.
Menghidupkan Kembali Kopi Tanah Sunda
Salah satu koperasi kopi di Indonesia, Koperasi Klasik Beans pernah mendaftarkan indikasi geografis untuk kopi dari daerah Bandung dan sekitarnya. Kopi ini kemudian dikenal sebagai Kopi Arabika Java Preanger.
Sebelum mendaftarkan HKI, kopi-kopi dari daerah Gunung Puntang, Kabupaten Bandung, masih dikenal sebagai kopi Mandailing –kopi asal Mandailing, Sumatera Utara. Kondisi ini terjadi karena pengakuan terhadap Kopi Mandailing sudah besar menyebabkan harga jual yang tinggi pula. Kemudian, petani dihadapkan dengan hasil panen mereka yang tidak punya nama di pasaran sehingga mereka menganggap menjual kopinya sebagai Mandailing mampu memberikan nilai tambah terhadap hasil panennya.
“Pada waktu itu, banyak pemain-pemain dari Sumatera datang ke Jawa Barat seolah-olah kopinya di-Sumatera-kan. Branding sebagai Mandailing, karena mau tidak mau kiblat dari perkopian Indonesia adalah Sumatera,” ujar Uden Banu, anggota Koperasi Klasik Beans di Gunung Puntang.
Kisah yang dialami Uden Banu juga sejalan dengan pengalaman anggota Serikat Petani Indonesia (SPI), Muhammad Ikhwan bersama petani di Bengkulu. Langkah yang diambil juga mirip, Serikat Petani Indonesia (SPI) menginisiasi untuk meningkatkan pengakuan kopi arabika dari Bengkulu. Mereka mencoba berangkat dari dua kabupaten, Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Kepahiang, Bengkulu.
“Tahun 2016 [produk kopi arabika dari Bengkulu] enggak ada. Tahun 2017, kita kerjain akhirnya ada kopi arabika dari Bengkulu karena sembunyi-sembunyi, gitu. Ya Allah, susah banget dan kayaknya dioplos ke jadi apa, gitu. [Mungkin] jadi Mandailing dilempar ke daerah lain, gitu. Ini kan terkait si petani ini tuh ada kekhasan. Itu kan terrain-nya beda-beda dan kopinya beda-beda, ‘kan. Jadi, ada kekhasan itu, ada kekayaan juga dari tiap daerah,” cerita Muhammad Ikhwan.
“Dulu enggak ada tuh kopi namanya Arabika Kepahiang, Bengkulu. Akhirnya, setelah kita lihat, ‘wah, ada potensi’ [kemudian] petaninya mau belajar dan mau berkonsolidasi. Akhirnya, ada deh, tuh. Ternyata, bisa jadi barang bagus,” tambah Ikhwan.
Upaya untuk membentuk identitas kedaerahan mampu memberikan semangat baru kepada petani. Melalui kisah di Gunung Puntang, Kabupaten Bandung, dan Bengkulu, petani mampu memberikan nilai tambah kepada produk panennya. Namun, implementasi indikasi geografis di Indonesia masih perlu perbaikan.
Sebuah Harga untuk Upaya Imitasi
Peran indikasi geografis secara hukum mampu melindungi petani, pengolah, dan pihak yang terlibat di dalam produksi kopi kedaerahan ini. Gunawan menerangkan manfaat saat masyarakat sudah mendaftarkan indikasi geografisnya adalah perlindungan hukum. Berdasarkan Pasal 101 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016, pelaku yang dengan sengaja menjual produknya dengan cara mencuri identitas indikasi geografis tanpa menyepakati aturan indikasi geografis pemiliknya dapat dipidana penjara empat tahun atau denda empat milyar rupiah.
Selain itu, pihak yang dengan sengaja memperjualbelikan produk yang menyalahgunakan indikasi geografis dapat dikenakan ancaman pidana. Gunawan menerangkan proteksi harus dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Namun, masyarakat juga bisa melaporkan bila menemukan adanya dugaan penyalahgunaan ini.
“Bahkan, orang yang tahu dan memperjualbelikan [produk yang] berpotensi pelanggaran [bisa dipidana]. Dia enggak produksi tapi dia memperjualkan, tapi dia tahu itu bukan hasil dari pemilik IG-nya, pemilik haknya. Itu bisa kena ancaman [penjara] satu tahun, dendanya 200 juta [Rupiah]. Itu tuh ketentuan Pasal 102 Undang-Undang yang sama, 20 tahun 2016,” terang Gunawan.
“Memang sebenarnya teman-teman [pemilik hak indikasi geografis] harus melakukan delik aduan ini. Kalau ada buktinya itu bisa langsung dipidanakan. Jadi, jelas, nih, ada alat bukti, ada tersangkanya, undang-undangnya sudah jelas.”
Namun di satu sisi, Ikhwan menekankan perhatiannya bila indikasi geografis belum bisa menjamin transparansi pasokan kopi yang beredar di pasar. Ikhwan mengumpamakan dengan kopi-kopi dari daerah lain yang dijual sebagai kopi dengan indikasi geografis yang lebih populer. Kondisi tersebut bisa terjadi karena tidak ada pencatatan yang jelas berapa banyak jumlah produksi tahunan hasil panen kopi.
“Banyak yang enggak terukur [produksi kopinya]. Makanya, banyak sekali penjualan itu seperti kopi itu tidak bisa terkuantifikasi, kan, dan tidak terdata. Misalnya, kayak berapa ton arabika setiap tahun di Indonesia? Enggak ada. Susah banget cari datanya. Berapa ton arabika dari Bengkulu? Enggak ada. Makanya, itu ada fenomena juga kopi oplos kalau di indikasi geografis, bukan Kopi Mandailing tapi Kopi Sunda,” ujar Ikhwan. “Dioplos, karena enggak jelas rantai pasoknya.”
Serupa dengan tanggapan Ikhwan, Uden Banu dari Koperasi Klasik Beans juga menyampaikan kebingungannya terhadap peran indikasi geografis. Indikasi geografis bagi Uden hanya secuil kertas untuk menunjukkan legalitas produk kopi dari daerah Gunung Puntang. Namun, implementasi pencatatan dan pertanggungjawaban petani terhadap produk kopinya tidak tercatat dengan baik. Bila tujuan indikasi geografis untuk memberikan pengakuan komoditas, hal tersebut sudah dilakukan oleh Koperasi Klasik Beans.
“Apa yang kita lakukan waktu itu [saat menangani kopi Sunda Hejo] sebagai indikasi geografis? Itu mah hanya simpel aja. Kopi daerah itu dinamakan dari daerah itu dan kopi layak minum, layak konsumsi,” jelas Uden.
Traceability dan Trustability
Menurut Cinzia Piatti dan Angga Dwiartama, indikasi geografis diharapkan mampu memberikan ruang integrasi antara pasar global dan lokal. Keadaan ini memampukan petani lokal menjual produknya dengan pengakuan produk yang lebih baik. Oleh karena itu, petani bisa menghadapi relasi kuasa yang sudah terbentuk dalam bisnis perkebunan, terutama kopi. Jurnal tersebut menyatakan bila petani bisa melakukan standarisasi terhadap komoditasnya dan memampukan petani bersaing dengan produk yang lebih dikenal di pasaran.
Berkaitan dengan itu, Uden Banu memberikan tanggapan berkaitan dengan upaya indikasi geografis untuk menjaga standar komoditas petani. Indikasi geografis dapat diperlakukan oleh pemerintahan sebagai upaya untuk memudahkan penelusuran dan kejujuran pasar. Oleh karena itu, Uden Banu menekankan bila pada Koperasi Klasik Beans sudah ada implementasi indikasi geografis. Namun, mereka melakukan itu tanpa dokumen resmi yang terdaftar di Ditjen HKI. Bagi Koperasi Klasik Beans, traceability atau ketelusuran dan kejujuran lebih penting saat menawarkan produk kepada pembeli.
“Traceability itu ketelusuran dan kejujuran. Jadi saat kita menjual kopi Puntang, kita melihat potensi. ‘Ini kopi Puntang saya akan menjual 3 ton, ini datanya, ini kebunnya, dari petani A, saya memproses di sini.’ Makanya, pembeli kita akan senang karena pada saat ke sini saya ajak diskusi, saya bawa ke kebun, saya terangkan potensi kebun. Saat mau beli, lot dari kebun ini hanya sekian. Jadi, datanya riil, asli,” terang Uden.
Pokok yang ditawarkan oleh Uden Banu berangkat dari pengalamannya saat bekerja sebagai eksportir kopi di Papua Nugini. Uden menceritakan bila produksi kopi di negara itu mewajibkan pemerintah untuk melakukan pemantauan sehingga produk yang dihasilkan dari daerah tertentu dapat ditelusuri kondisinya. Pria yang pernah bekerja selama empat tahun di Papua Nugini ini menjelaskan peran pemantauan.
Petani di Papua Nugini biasanya menjual kopi setelah sudah menjual saat sudah menjadi gabah basah. Sebelum menjual, petani sudah memiliki pendataan jumlah hasil panen yang dihasilkan pada gelombang tersebut. Petani lalu menjual kopi itu kepada pusat pemrosesan kopi yang sudah memiliki lisensi untuk mengolah kopi. Pihak pemrosesan kopi harus memegang lisensi untuk menjamin jumlah kuota dan lisensi tersebut perlu diperpanjang setiap tahun.
Misalkan, pemrosesan hanya memiliki kuota untuk mengolah lima ton kopi pada tahun ini, maka mereka tidak boleh memproses kopi lebih dari kuota tersebut. Bila pemrosesan mengolah kopi lebih dari kuota, maka pemerintah bisa memberi sanksi denda kepada mereka. Semua ini tercatat di dalam dokumen yang tersentral kepada pemerintah. Setelah pemprosesan selesai mengolah kopinya, mereka dapat menjual produk tersebut kepada pedagang dan eksportir.
Uden Banu menerangkan dirinya memerlukan dokumen lisensi dari pihak pemrosesan jika ingin mengimpor kopi dari Papua Nugini. Uden mengatakan pemerintah akan meminta docket atau dokumen dari pihak pemrosesan dan petani sebelum mengekspor kopi tersebut. Pencatatan ini berguna untuk penelusuran asal kopi dan rasa kepercayaan pembeli.
“Saat [pemrosesan yang mengolah 10 ton] menjual [kopi] ke eksportir syarat sah untuk membeli kopi itu adanya docket itu. Docket itu koneksi ke pajak. Jadi, [pemrosesan] bisa aja mengelola sampai 20 ton bahkan 100 ton. Tetapi, [yang tercatat] misalkan hanya menjual ke perusahaan hanya 10 ton. Namun, saat menjual ke yang lain lebih dari 10 ton itu juga terlacak [dan bisa didenda],” jelas Uden Banu.
Menurut pengalaman Uden Banu, pencatatan itu berguna untuk mengidentifikasi kecacatan produk dari suatu daerah. Oleh karena itu saat kopi dari suatu daerah sedang diserang hama atau penyakit, pemerintah bisa mengkarantina daerah tersebut.
“Pemerintah ini bisa melacak. ‘Oh, si A complaint, si eksportir A beli kopi dari daerah ini kutunya banyak.’ Keputusan [karantina] satu hari jegreg tutup daerah ini. [Pemerintah] sediakan karantina. Kopi yang keluar dari [daerah itu] enggak boleh keluar sebelum dicek oleh karantina. Jadi, enggak boleh [dibawa dengan truk] bak terbuka. Kopi yang keluar [dari sana] dibikin karantina di bawah, dicek dan difumigasi. Truk yang [membawa kopi] tersegel baru bisa dijual. Jadi, [karantina] bisa satu hari,” jelas Uden.
Keterbukaan seperti yang terjadi di Papua Nugini mampu membuat pembeli semakin percaya kepada produk kopi petani. Petani juga mendapat ruang transparansi sehingga produknya tidak dijual dengan identitas lain. Aksi tersebut juga memberikan kepercayaan dari supplier kepada buyer.
Perjalanan Panjang untuk Semakin Kuat
Indikasi geografis mampu melindungi produk hasil petani kopi dengan pengakuan reputasi kopi yang mereka tanam. Namun, penerapannya masih perlu dukungan agar semakin banyak kopi specialty –kopi single origin kedaerahan– asal Indonesia mendapat perlindungan hukum. Gunawan menyampaikan bila pihak Ditjen HKI berharap semakin banyak kopi yang bisa terlindungi.
Gunawan menerangkan proses pendaftaran indikasi geografis cukup sederhana. Kelompok masyarakat yang tergabung dalam Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) setempat bisa memulai dengan mendeskripsikan produk mereka, mulai dari wilayah yang hendak didaftarkan, proses produksi, daftar anggota, dan kaitan sejarah produk tersebut. Deskripsi tersebut kemudian akan diperiksa oleh pihak Ditjen HKI melalui sebuah dokumen bernama Dokumen Deskripsi Indikasi Geografis.
“Sebenarnya, dokumen deskripsi bercerita bagaimana bedanya produk [yang satu] dengan tempat lain [untuk] yang setipe, ya. Sama-sama kopi dari 41 kopi yang terdaftar, [lalu] apa bedanya? Itulah mereka harus buktikan apa bedanya. Kalau sama, benih dan varietasnya sama tapi ditanam di tempat yang berbeda dengan kandungan unsur hara [tertentu]. Kemudian, lingkungan di tempat dan lain-lain itu membentuk kekhasan masing-masing tipe kopinya,” jelas Gunawan saat diwawancara pada Jumat (4/11/2022).
Saat masyarakat ingin mengajukan indikasi geografis, mereka bisa langsung menghubungi pihak Ditjen Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dari Kemenkumham. Gunawan menjelaskan dokumen deskripsi yang diperlukan memang rumit dan tidak semua bisa atau sanggup menyusun deskripsi tersebut. Oleh karena itu, Ditjen HKI bisa menawarkan bantuan kepada masyarakat untuk menyusun deskripsi indikasi geografis.
“[Dokumen deskripsi indikasi geografis] seperti orang menyusun studi disertasi. Kalau enggak kita bantu nyusun, sekelasnya akademisi doktor pasti nyerah. Ya, kita kan, karena udah sering baca dokumen ini jadi, ya, tahulah draft-nya seperti apa,” kataGunawan. “Kalau pemohon ada kesulitan menyusun dokumen, sampaikan ke kami nanti akan kita siapkan anggaran. Kita terjunkan tim ke sana, kita bantu menyusunnya. Apa yang [pemohon] sudah punya, apa yang nanti perlu [pemohon] siapkan, supaya ini jadi dokumen yang pas.”
Setelah indikasi geografis ini semakin umum dan dikenal oleh masyarakat, kopi specialty dari Indonesia harapannya bisa terdata agar seluruh pihak dapat merasakan manfaat traceability dan trustability antara produsen dan konsumen. Produsen dapat semakin menghargai identitas produk kopinya dan konsumen dapat menaruh percaya terhadap produsen kopi, termasuk petani dan pengolah kopi.