SECANGKIR BUDAYA
Hangat. Itulah salah satu kesan yang melekat setelah menghabiskan seminggu di Kemiren. Desa wisata yang termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi itu tidak hanya menyuguhkan berbagai kebudayaan seni, tetapi juga kehangatan dan kebersamaan. Para pendatang disambut dengan begitu baik. Hanya dalam kurun waktu singkat, penduduk Kemiren dapat membuat pengunjung merasa menjadi bagian dari komunitas hanya dengan melalui secangkir-dua cangkir kopi.
Belum genap tengah hari di hari Minggu itu, Rumah Produksi Kopi Jaran Goyang dipenuhi aroma kopi dan cangkir-cangkir yang berserakan. Produk kopi olahan teman-teman Kemiren itu beraroma lembut, jenis arabika, dan rasanya pun tidak terlalu masam. Meskipun, ya, menambahkan satu sendok gula pasir tetap membuat rasanya mantap.
Kesibukan teman-teman Kemiren cukup beragam di rumah bergaya adat Osing (suku asli Kemiren) itu. Ada yang sibuk di belakang konter menyeduh kopi, ada yang bermain angklung paglak, ada juga yang hanya sekedar duduk-duduk–berbincang dengan satu sama lain sambil merokok dan minum kopi.
Menurut salah satu penggiat Rumah Produksi Kopi Jaran Goyang, Krisna, Jaran Goyang diambil dari sastra lisan berupa mantra yang konon dapat membuat seseorang tergila-gila terhadap pihak yang memicunya. Dengan kata lain, kopi jaran goyang diharapkan dapat membuat peminumnya dapat ‘tergila-gila’, meskipun tidak menyukai kopi sama sekali.
Kemiren sendiri tidak memproduksi kopi karena kondisi geografisnya yang kurang tinggi untuk menjadi zona tanam. Namun, penduduk Kemiren mengolah hasil biji kopi yang didapatkan dari desa-desa lain di sekitarnya dan memproduksinya menjadi siap minum.
“Jaran Goyang itu sebenarnya label. Kopinya seperti pada umumnya, robusta dan arabika. Kalau excelsa sudah ada, tapi kalau excelsa sendiri cuma ambil dari daerah lain. Dari Kemiren sendiri banyakan robusta dan arabika,” tutur Krisna.
Selain itu, kopi juga menjadi salah satu program khusus pariwisata Kemiren yang diselenggarakan oleh Kelompok Sadar Wisata (MPOKDARWIS) Desa Wisata Kemiren.
“Kita memperkenalkan kopi osing itu seperti apa, belajar untuk bagaimana sih budayanya orang ngopi di sini. Kopinya seperti apa, produknya seperti apa, jenisnya apa,” jelasnya.
Krisna,
Penggiat Kopi Jaran Goyang
Warga Kemiren juga memiliki jargon ‘sak corotan dadi seduluran’. Artinya, ‘sekali seduh kita bersaudara’. Menurut Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas melalui Medio pada Oktober 2019, filosofi tersebut berarti ‘kita bersilaturahmi melalui minum kopi bersama’.
Ketua Pokdarwis Kencana Kemiren, Moh. Edi Saputro (dibaca Edai dalam bahasa Osing), mengatakan bahwa jargon tersebut bukan semata-mata ‘teori tanpa hasil’.
“Teori tanpa implementasi itu seperti manusia berbicara dalam hati. Malah lebih di implementasinya, sih. Dengan kopi lebih banyak mengenal orang lain, terutama dari luar kota. Bisa ngobrol dengan orang yang benar-benar meluangkan waktu sambil menikmati secangkir kopi tanpa gula,."

Kang Edai
Sejak dinobatkan sebagai desa wisata adat pada tahun 2017, wong Using (orang Osing) memang perlahan menjadi lebih terbuka terhadap masyarakat luar. Sebuah studi pada 2020 mendeskripsikan wong Using sebagai cenderung tertutup sebelum menjadi dewasa. Partisipasi pemuda dalam pengembangan kebudayaan lokal di Kemiren juga tergolong rendah.
Namun, setelah menjadi desa wisata, warga Kemiren menjadi lebih terbuka dengan masyarakat luar. Contonya, seperti melakukan kontak dengan wisatawan lokal dan mempelajari bahasa asing agar dapat berinteraksi dengan turis mancanegara dengan lebih mudah.
Pokdarwis Kencana juga aktif mempromosikan kegiatan dan berbagai informasi terkait kebudayaan Kemiren di media sosial, khususnya Instagram. Melalui laman Instagram-nya, terdapat banyak dokumentasi kegiatan di Kemiren dan fakta-fakta menarik tentang Kemiren serta wong Using.
Salah satu cara lain Kemiren memperkenalkan budaya ngopi mereka adalah melalui Festival Ngopi Sepuluh Ewu atau Festival Sepuluh Ribu Kopi. Usul ini muncul pada 2013 melalui pengusaha, peracik kopi, sekaligus pemilik Sanggar Genjah Arum Setiawan ‘Iwan’ Subekti. Meskipun bukan bagian dari suku asli, pria yang juga bersertifikasi sebagai Q Grader (semacam ahli kopi) tersebut berpendapat bahwa Kemiren memiliki banyak potensi yang seharusnya dikenal oleh khalayak luas.
Hal lain yang mendasari munculnya festival tersebut juga meliputi tradisi minum kopi warisan dari nenek moyang. Terdapat sebuah ajaran berupa “Welurine Mbah Buyut Kemiren ngombe kopi cangkir tutup” yang berarti meminum kopi melalui cangkir yang memiliki tutup.
Itulah sebabnya, setiap keluarga yang tinggal di Kemiren memiliki setidaknya satu lusin cangkir keramik–diwariskan secara turun-temurun. Ketika Festival Ngopi Sepuluh Ewu dilaksanakan, cangkir-cangkir inilah yang digunakan. Bagi penduduk setempat, cangkir keramik merupakan alat terbaik untuk menyajikan kopi panas.
Festival Ngopi Sepuluh Ewu melibatkan warga Kemiren yang menyajikan kopi racikan mereka di teras rumah secara gratis. Sebanyak 1.000 cangkir hasil olahan warga lokal disajikan secara gratis kepada pengunjung tanpa bantuan dari pemerintah Banyuwangi. Selai kopi, pengunjung juga dapat mencoba berbagai makanan tradisional khas Banyuwangi, seperti klemben, lopis, kucur, dan masih banyak lagi.
Awalnya, festival ini hanya memanfaatkan hasil swadaya masyarakat setempat tanpa bantuan pemerintah. Melihat antusiasme yang tinggi, jumlah kopi yang disuguhkan pun meningkat. Jumlah kopi yang disiapkan oleh panitia mencapai sekitar 2,5 kwintal. Sebanyak seribu cangkir kopi disuguhkan di berbagai set cangkir cantik bagi para pengunjung. Festival ini juga tidak hanya memikat wisatawan dalam negeri, tetapi juga berhasil mengundang turis dari luar negeri, seperti asal Jerman, Perancis, Polandia, dan Spanyol.
Selain itu, Festival Ngopi Sepuluh Ewu juga dijadikan ajang bagi masyarakat Kemiren kembali belajar cara mengolah dan menyangrai biji kopi hingga siap minum dengan lebih efektif dan efisien. Pengunjung yang hadir dapat melihat secara langsung bagaimana proses hingga biji kopi menjadi siap seduh.
Menurut Iwan, dulu warga cenderung memiliki pemahaman yang salah soal kopi.
“Warga pikir penyangraian kopi harus sampai hitam karena seduhan kopi berwarna hitam. Padahal kalau sampai hitam ya gosong,” tuturnya, saat diwawancarai di Sanggah Genjar Arum, Maret 2022.
Dengan tujuan memaksimalkan budaya kopi Kemiren, Iwan pun mendorong pemuda-pemudi Kemiren agar dapat mempelajari kopi dengan serius. Krisna, salah satu penggiat kopi di Rumah Produksi Jaran Goyang mengaku bahwa dirinya merasa lebih memahami soal kopi.
“Awalnya kita diajari sama beliau karena beliau yang lebih paham soal kopi. Pak Iwan datang memberikan edukasi bagaimana mengolah kopi yang benar, memilih kopi yang benar. Budaya (kopi) sejak dulu ada, tapi Pak Iwan lebih mengedukasi teknisnya lebih baik lagi. Ada pengaruhnya gitu sampai kita juga bisa bikin produk (Kopi Jaran Goyang). Kalau orang sini (asli Kemiren), mungkin produksinya untuk mereka sendiri–bertamu dan lain-lain,” ujarnya.
Sayangnya, akibat pandemi COVID-19 festival ini belum dilaksanakan lagi sejak tahun 2019. Suhaimi mengatakan bahwa alternatif lain untuk mempromosikan kebudayaan Kemiren adalah melalui anak-anak muda yang berkunjung ke desa.
“Setiap mahasiswa yang ke sini juga saya sampaikan (mengenai Kemiren). Dari mulut ke mulut,” tuturnya sambil sumringah.
Saat ini, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi tengah gencar mengembangkan potensi daerahnya, khususnya dalam sektor pariwisata. Kabupaten dengan julukan ‘The Sunrise of Java’ ini menjadikan Kemiren menjadi Desa Wisata Berkelanjutan pada tahun 2020. Hingga saat ini, Desa Kemiren banyak meraih prestasi. Salah satunya adalah peringkat juara 2 yang diperoleh dalam ajang Desa Wisata Award 2021 kategori wisata berbasis budaya.