SEKEPING SEJARAH

Siang itu hujan turun deras. Rumah Produksi Kopi Jaran Goyang ramai diisi kawula muda. Di antara muda-mudi yang sibuk berbincang dan bercengkerama, Kepala Adat Desa Wisata Kemiren Suhaimi tengah menikmati secangkir kopi hangat sambil merokok.

Di desa yang terletak di Kabupaten Banyuwangi ini, mengonsumsi kopi bukanlah sekedar gaya hidup, melainkan sebuah bentuk budaya yang melibatkan kebersamaan melalui ngopi. Suhaimi menjelaskan bahwa masyarakat Osing, suku asli Kemiren, memiliki prinsip ‘gupuh, lungguh, suguh’ dalam menyambut tamu. Secara harfiah, ‘gupuh’ berarti tergesa-gesa (dalam menyambut), ‘luguh’ itu mempersilakan duduk, dan ‘suguh’ berarti menyuguhkan.

Selain itu, sebab budaya ngopi telah menjadi sesuatu yang lekat dengan keseharian masyarakat Kemiren, terdapat juga ungkapan “sak crot dadi seduluran” yang berarti “sekali seduh, kita bersaudara”. Atas hal ini, ngopi berperan penting dan filosofis bagi masyarakat Kemiren dalam bersosialisasi, baik dengan sesama warga, ataupun dengan orang luar Kemiren.

Setelah satu hisapan tajam di rokoknya yang sudah tinggal setengah, Suhaimi mengerjapkan matanya. Gayanya santai dan ramah, sementara matanya menatap ke arah hujan yang masih turun deras.

 Pria kelahiran 1959 ini menjelaskan bahwa menurut mbah-mbah dulu, Kemiren punya kebiasaan melékan (begadang) setiap mengadakan kegiatan tertentu. Kopi yang dianggap menghilangkan rasa kantuk digunakan agar menyegarkan tubuh sehingga aktivitas tetap lancar.

Suhaimi

Kepala Adat Desa Kemiren

“Kopi itu mulai sejak dulu selalu digunakan di saat apapun. Kedatangan tamu–ngopi, ada acara–ngopi, jadi semuanya ngopi. Makanya jadi ada yang kurang kalau enggak ada kopi. Karena, komoditas utama juga kopi."

— Suhaimi perihal bagaimana kopi bisa
menjadi identitas Kemiren.

Jauh sebelum Indonesia merdeka, bangsa kita telah mengenal kopi yang memiliki karakteristik tersendiri, tergantung pada daerah asalnya–baik dari segi rasa ataupun budaya yang lekat dengan cara penyajiannya. Terlepas dari suku, ras, dan agamanya, kopi menjadi salah satu cara yang turut bisa menyatukan berbagai pribadi dari latar belakang berbeda-beda menjadi satu.

BAGAIMANA KOPI BISA MASUK KE INDONESIA?

Menurut buku Absolute Coffee karya Prawoto Indarto, asal muasal kopi memang bukan dari Indonesia. Pun demikian, Pulau Jawa berperan besar dalam penyebaran awal Coffea arabica var L. typica secara global, lho!

Pada 1726, sebanyak sekitar 90 persen perdagangan kopi di Amsterdam berasal dari Pulau Jawa. Tidak hanya itu, Jawa juga memproduksi tiga perempat peredaran kopi di dunia. Kopi ini dikenal dengan sebutan ‘Java Coffee’. Tidak hanya jumlah produksinya yang dalam jumlah besar, kopi jawa juga dipandang baik kualitasnya. Bahkan, mendapatkan predikat high grade coffee jauh sebelum Brazil, Kolumbia, dan Venezuela dikenal akan produk kopinya.

Meski begitu, awal perjalanan pertumbuhan kopi di Indonesia tidak berjalan mulus. Gubernur Malabar di India yang merupakan seorang Belanda mengirim beberapa bibit kobi kepada Gubernur Batavia (sebutan Jakarta pada masa itu) pada tahun 1696. Penanaman itu mengalami gagal panen akibat terjadinya banjir. Tanaman kopi baru tumbuh subur di Indonesia setelah pengiriman bibit kedua pada tahun 1699.

UPAYA PENYELAMATAN JAWA DAN PELAKSANAAN TANAM PAKSA

Belanda jatuh ke tangan Perancis pada 1806 dan Herman Willem Daendels ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda dua tahun setelahnya. Daendels diberi mandat untuk menyelamatkan Pulau Jawa, atau dengan kata lain, memastikan produksi kopi di Jawa berjalan dengan baik.

Melalui Prawoto Indarto dalam Absolute Coffee, Daendels membagi wilayah Priangan menjadi dua, yaitu: ‘wilayah penghasil kopi’ dan ‘wilayah bukan penghasil kopi’. Selain itu, Daendels juga menerbitkan ‘Surat Keputusan Standar Harga Kopi di Pulau Jawa’ pada April 1809. Kebijakan ini menyebabkan harga kopi yang seragam di seluruh wilayah Jawa tanpa pungutan apapun terhadap petani.

Sistem cultuurstelsel atau tanam paksa diberlakukan pada masa pemerintahan Johannes van den Bosch selama 1830-1835. Bosch memiliki ambisi untuk menanam sebanyak 50 juta pohon kopi pada tahun pertamanya, lalu 40 juta pohon pada tahun selanjutnya. Atas kebijakan ini, Jawa menjadi raksasa kopi arabika bersama Brazil dan Ceylon. Jawa memiliki sekitar 340 juta pohon kopi pada 1840. Lalu, sebanyak 62.000 kopi berhasil diproduksi pada 1843, dua kali lipat lebih banyak sejak 1830. Hasil produksi kopi ini berhasil diekspor ke pasar kopi dunia sebanyak satu juta karung.

SERANGAN JAMUR DAN TURUNNYA PAMOR KOPI INDONESIA

Menurut The World Atlas of Coffee yang ditulis Hoffmann, Indonesia awalnya hanya memproduksi kopi Arabika. Namun, akibat serangan jamur Hemilea vastatrix yang menyebabkan kematian tanaman kopi arabika pada 1875, Indonesia mulai mencoba untuk menanam robusta. Sebelumnya, kopi jenis Liberika juga mendapat percobaan tanam. Sayangnya, jenis tersebut juga banyak mati akibat jamur.

Sumber:

Sumber: blog.plantwise.org

Tidak hanya Indonesia, Ceylon juga mengalami penurunan produksi drastis akibat serangan ini. Ekspor kopi dari kedua negara tersebut terpaksa dihentikan sehingga rantai pasok kopi terganggu. Kondisi ini mengakibatkan harga kopi dunia menjadi tidak terkendali.

Sejak 1880, Pulau Jawa kehilangan potensi ekspor sebanyak sekitar 120.000 ton. Sementara itu, pasar Amerika Serikat mengalami lonjakan konsumsi kopi dunia atas kontribusi baby boomers. Akibatnya, Amerika Sekitar pun memimpin pasar kopi dunia.

Melalui sebuah riset, pasar kopi dunia bernilai sebesar 460 miliar dolar AS pada tahun 2022. Amerika sendiri berkontribusi sebanyak 90,2 miliar dolar, jauh lebih banyak dari negara lainnya. Di antara tahun 2022 hingga 2025, diperkirakan pertambahan nilai pasar kopi dunia (compound annual growth rate; CAGR) berkembang sebanyak 5,30 persen. Sementara itu, perkembangan pasar kopi di Amerika diperkirakan berkembang sebanyak 4,34 persen per tahunnya hingga tahun 2025.

Indonesia sendiri saat ini memegang posisi keempat sebagai negara yang memproduksi kopi terbanyak, dengan jumlah total 12 juta kantung berisi 60 kilogram kopi per Mei 2022. Selain itu, Kementerian Perdagangan juga menyatakan kopi sebagai komoditas Indonesia terbesar nomor dua. Kabupaten Banyuwangi sendiri berperan sebagai salah satu produsen kopi terbesar di Jawa Timur. Per tahunnya, hasil panen kopi robusta dan arabica bisa mencapai 16.000 ton dengan luas lahan hingga 15.141 hektare.

Banyuwangi memiliki kondisi geografis yang terdiri dari dataran tinggi dan rendah. Selain itu, daerahnya juga dikelilingi oleh dua gunung berapi, yaitu Gunung Ijen dan Gunung Raung. Daerah yang acap kali disebut Sunrise of Java ini memiliki banyak kekayaan sumber daya alam sehingga dianggap ideal untuk menjadi tempat tumbuh berbagai komoditas pertanian dan perkebunan. Tidak hanya itu, Banyuwangi juga kaya akan kebudayaan asli setempat. Mulai dari seni tari, seni musik, bahkan ngopi.

 

Desa Wisata Adat Kemiren menawarkan banyak dari kebudayaan tersebut. Tidak hanya budaya ngopi, masih ada sejumlah kebudayaan lain yang menjadikan Kemiren tempat belajar bagi banyak orang dari segala penjuru dunia. Contohnya, seperti ritual Barong Ider Bumi, Festival Tumpeng Sewu, Festival Gedhogan, dan masih banyak lagi.

 

Sumber: kemiren.com

Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial
Instagram
WhatsApp