Angklung Paglak

Angklung paglak turut menjadi salah satu ciri khas Desa Kemiren dari segi alat musik tradisional. Paglak merupakan sebuah bangunan bambu yang memiliki tinggi sekitar 5-10 meter dengan atap yang terbuat dari anyaman daun kelapa bernama welit. Sementara itu, para pemain memainkan angklung sambil duduk duduk di atas alas yang disebut plonco.

Penampilan angklung paglak biasanya ditemani oleh sejumlah gendang. Biasanya, alat musik ini dimainkan oleh pria dewasa dalam perayaan panen raya atau ritual adat Barong Ider Bumi. Sama seperti pemain othek, pemain angklung paglak juga menggunakan baju adat khas Osing.

Lagu yang biasa dimainkan dalam angklung paglak meliputi Padang Ulan, Tetel-tetel, Jaran Ndawok, dan Gerang Kalong. Ragam lagu tersebut memiliki tema kebahagiaan dari masyarakat desa yang berpencaharian utama sebagai petani (agraris). Alunan angklung paglak memiliki kesan lembut dan cenderung adiktif, alias menarik untuk didengar terus-menerus.

Musik Lesung (Othek atau Gedhogan)

Musik tradisional khas Kemiren ini berbentuk persegi panjang dengan lubang di bagian tengah. Disebut lesung, alat musik ini persis seperti alat yang digunakan untuk menumpuk beras. Baloknya dibuat dari batang pohon nangka. Biasanya, penampilan othek ditemani oleh iringan angklung, biola, dan tabuhan gendang. Tak hanya itu, terdapat penyanyi yang menyindenkan gendhing atau lagu khas Osing.

Awalnya, alat musik ini ditemukan oleh wanita yang sedang menumbuk padi menghasilkan bunyi ritmis menarik. Musik ini menjadi salah satu instrumen tradisional khas Osing karena tradisi masyarakat Osing yang cenderung melakukan gotong royong dalam kegiatan desa.

Suhaimi mengatakan bahwa alat musik ini dapat dimainkan dalam keadaan apapun, tidak harus dalam acara tertentu. Bahkan, terdapat penampilan pertunjukan othek dalam pasar mingguan Kemiren sehingga wisatawan yang hadir dapat menikmati hiburan musik ritmis khas dari tumbukan alu di atas lesung tersebut. Uniknya, biasanya pemain musik lesung ini ialah wanita berusia lanjut. Hal ini bertujuan untuk menunjukkan kekhasan seni musik khas Osing ini. Meskipun begitu, semua kalangan diperbolehkan untuk memainkan alat musik ini selama masih dapat menggunakan alu. Para pemain othek juga biasanya menggunakan baju adat Osing berupa kebaya hitam dan jarik.

Tari Gandrung

Tarian yang bernuansa merah-kuning ini merupakan tarian khas Banyuwangi. Kata ‘Gandrung’ berarti masyarakat Blambangan yang terpesona kepada Dewi Sri atau Dewi Padi yang membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Tarian ini dulu bertujuan untuk menghibur pembabat hutan, mengiringi acara selamatan, dan kegiatan lainnya yang berhubungan dengan pembabatan hutan angker.

Masing-masing dari aksesoris yang dikenakan penari Gandrung juga memiliki arti tersendiri. Sebagai salah satu contoh, mahkota berperan sebagai representasi kecantikan dan keagungan para penari. Disebut omprog, bagian aksesoris kepala ini dihiasi oleh ornamen tokoh Antasena, Kaca, dan Pilisan.

Mepe Kasur

Salah satu hal unik lain dari Desa Kemiren adalah setiap warganya memiliki kasur berwarna merah-hitam (abang cemeng, bahasa Osing ‘merah’ dan ‘hitam’) yang seragam. Tradisi mepe kasur, secara sederhana, merupakan tradisi desa ketika semua warga mengeluarkan kasur tersebut dan menjemurnya di depan rumah masing-masing. Kombinasi warna hitam dan merah merepresentasikan keunikan dan kekhasan kasur yang merupakan warisan turun-temurun di Kemiren.

Secara filosofi, warna hitam merupakan lambang perlindungan dari segala yang jahat, penyakit, bencana, dan sebagainya. Sementara itu, warna merah memiliki arti kelanggengan atau keberlangsungan. Meurut Suhaimi, cemeng atau hitam adalah simbol dari tolak bala, sementara abang atau merah adalah simbol akan keabadian rumah tangga. Dengan kata lain, kasur abang cemeng diharapkan dapat membuat pasangan suami istri, khususnya yang baru menikah, langgeng dan terhindar dari malapetaka.

Biasanya, tradisi mepe kasur dilaksanakan setahun sekali pada bulan haji. Mepe kasur adalah satu dari serangkaian ritual yang dilakukan Desa Kemiren setiap satu tahun sekali. Kasur akan dijemur sedari matahari terbit hingga sore hari. Saat pertama dikeluarkan, kasur dijemur dengan iringan doa dan percikan air bunga agar terhindar dari penyakit.

Barong Ider Bumi

Menurut Suhaimi, Desa Kemiren terletak di tanah yang dulunya merupakan hutan kemiri, durian, dan aren. Dari waktu ke waktu, dilakukan banyak pembabatan hutan dari tiga komoditas tersebut sehingga menjadi bagian dari wilayah desa. Itulah sebabnya desa wisata adat ini disebut dengan Kemiren.

Desa Kemiren merupakan desa yang melimpah dan sejahtera dari segi hasil komoditas pertanian. Sayangnya, pada zaman itu, terdapat penyakit bernama pageblug hadir dan menyebabkan penderitanya meninggal dunia. Para sesepuh pun membentuk sebuah ritual bernama Barong Ider Bumi untuk menghentikan wabah tersebut. Upacara ritual adat ini dianggap sebagai upacara bersih desa atau tulak balak. Acara yang bersifat sakral dan mistis ini dilaksanakan secara tertutup, melalui arak-arakan barong yang dihelat dari siang menuju sore, sekitar pukul tiga waktu setempat setelah sholat ashar.

Rangkaian acara diawali dengan ritual sembur othik-othik, pelemparan 999 uang koin yang dicampur beras kuning dan bunga sebagai representasi usaha warga dalam membuang sial. Setelah itu, Barong Osing akan diarak oleh warga desa mulai dari gerbang masuk menuju tempat mangku barong di arah barat. Para sesepuh akan turut mengarak para Barong sembari membawa dupa dan berdoa untuk keselamatan warga. Setelah diarak sejauh sekitar dua kilometer, para Barong akan kembali ke pusaran (gerbang masuk) dan melakukan selamatan.

Warga desa akan menikmati tumpeng pecel pitik, makanan khas Kemiren berupa ayam kampung yang dibakar dengan taburan kelapa, secara bersama-sama. Acara ini biasanya dilakukan pada malam hari, ditemani dengan obor yang apinya diambil dari kawah Ijen.

Tumpeng Sewu

Salah satu tradisi tahunan lainnya yang diselenggarakan di Desa Kemiren adalah Tumpeng Sewu atau selamatan kampung. Tradisi ini diselenggarakan sebagai bentuk ucapan syukur atas berkat Tuhan terhadap desa, mulai dari hasil panen, kesuburan tanah, kemakmuran dan ketentraman warga, dan masih banyak lagi.

Tumpeng yang digunakan adalah tumpeng pada umumnya, nasi berbentuk segitiga dengan berbagai lauk. Bedanya, terdapat lauk khas Kemiren yang disebut pecel pithik. Kata sewu (seribu) digunakan sebagai bentuk ‘hiperbola’ dari banyaknya tumpeng yang disiapkan, setidaknya satu rumah satu tumpeng.

Suhaimi mengatakan ada satu kebiasaan atau nilai tertentu yang diterapkan dalam acara-acara makan bersama di Kemiren. Dengan makan bersama sambil duduk bersila, setiap warga hanya dapat menikmati lauk yang ada dalam jarak selebar sila kaki. Alasannya karena tidak boleh mengambil ‘jatah orang lain’.

Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial
Instagram
WhatsApp