Kopi Tak Lagi Eksklusif untuk Laki-laki

Oleh: Gracia Yolanda Putri

Cairan berwarna hitam yang terasa pahit dan diminum kala membutuhkan tendangan energi. Kopi, namanya. Minuman yang sangat merakyat ini semakin naik pangkat di zaman yang menghargai efisiensi waktu. Mulai dari kopi tubruk sederhana hingga koktail espresso, konsumen dapat memilih minuman kopi yang sesuai selera lidah dan kantong mereka untuk berjuang menjalani hari. 

 

Dibawa dari Etiopia dan Semenanjung Arab, kopi masuk ke Eropa pada abad ke 17. Rasa dan paras minuman tersebut mendapat julukan “ciptaan pahit iblis”. Meskipun begitu, efek kopi yang memuaskan dahaga dan menambah energi membuat banyak coffee houses, setara kedai kopi pada saat ini, bermunculan di kota-kota besar Inggris, Austria, Perancis, Jerman, dan Belanda. 

 

Coffee houses pada masanya menjadi tempat ketiga di mana laki-laki dapat menunjukkan maskulinitas mereka. Bila di rumah gerak-gerik mereka diatur oleh para perempuan yang menguasai dapur, di ruang publik coffee houses para pria dapat leluasa bersantai sambil terlibat diskusi yang menstimulasi pikiran. 

Coffee houses digandrungi oleh para kelas pekerja hingga akademisi setelah jam kerja dan dijuluki sebagai “penny university” di Inggris. Artinya, secangkir kopi seharga satu penny dapat memberikan seseorang pemahaman baru melalui diskusi yang terjadi di sana. Kedai kopi bahkan dapat disebut sebagai tempat lahirnya jurnalisme modern dan revolusi sosial.

 

Pada abad 18 di Amerika Serikat, kopi instan menjadi minuman wajib dan eksklusif para pria saat sarapan. Kopi pahit berwarna hitam terkesan intimidatif, dipersepsikan sebagai minuman “keras” yang diminum oleh orang-orang yang kuat. Dan orang-orang kuat yang diakui saat itu adalah para laki-laki.

                                      

Namun ketika resesi ekonomi Amerika Serikat pasca Perang Dunia II melanda, laki-laki dan perempuan sama-sama dituntut untuk bekerja sehingga perempuan pun memanfaatkan kopi untuk menambah energi. Kopi bukan lagi minuman yang eksklusif untuk laki-laki. Meskipun begitu, maskulinitas kopi tetap terasa dalam kultur kedai kopi.

Dalam jurnal Food, Culture & Society 2007, Julie Reitz menuliskan bahwa espresso masih melestarikan natur maskulinitas di kedai kopi. Teknik pembuatan hingga penyajian espresso dengan gelas sloki membuat minuman ini tidak bisa menembus ranah domestik yang dipimpin perempuan. 

 

“Terdapat sesuatu tentang natur espresso yang seperti minuman keras, menjadikannya minuman yang akan selalu berada di publik,” tulis Reitz. 

 

Espresso dibuat dengan mesin yang harus dioperasikan oleh barista profesional di kedai kopi, yang merupakan tempat kekuasaan laki-laki. Mesin espresso juga tak bisa dimiliki oleh semua orang di rumah karena harganya yang mahal.

Rangkaian minum espresso juga melambangkan budaya serba cepat. Di Italia, espresso disajikan di espresso bar, langsung diminum dalam sekali teguk sambil berdiri untuk menjaga kesegaran minuman. Sajian ini digandrungi oleh kaum pria yang biasanya menghargai kerja keras dan waktu untuk mengejar kesuksesan. 

 

Percobaan Caribou Coffee di Metro-Detroit, Amerika Serikat, pada 2005 menunjukkan laki-laki lebih sering membeli espresso daripada perempuan. Berdasarkan observasi lapangan selama enam hari, mereka mendapati 36 dari total 38 pembeli espresso pada minggu tersebut merupakan laki-laki. 

 

Stereotipe budaya selama ini mencatat bahwa minuman yang “keras” cocok dengan tubuh yang kuat dan keras juga, yang adalah karakteristik maskulinitas laki-laki. Memang tidak semua tubuh laki-laki pasti kuat dan keras, serta tidak semua tubuh perempuan pasti lemah lembut. Tentu, tidak semua laki-laki pasti hustling mengejar kesuksesan. Namun, stereotipe tidak perlu benar secara universal untuk diterima masyarakat. 

Lantas, bagaimana espresso menanggalkan kesan maskulin? Jawabannya adalah susu. 

 

Susu, atau latte dalam bahasa Italia menjadi titik tengah di mana gambaran gender melebur dari kopi. Susu yang berwarna putih memfeminisasi espresso dengan citra keibuannya. Jika dilarutkan ke dalam espresso, susu membuat kopi memiliki warna yang lebih cerah sehingga terkesan lebih ‘jinak’. Bila dicampur dengan susu, espresso yang tadinya diminum on the go disulap menjadi minuman yang dapat diminum pelan-pelan sambil diskusi bersama teman. 

 

“Mencerahkan warna, mengubah tekstur, menurunkan kepadatan kafein, dan memberikan rasa manis espresso Italia untuk para pembeli perempuan. Susu menjinakkan espresso,” kata Reitz.

Ketuk elemen untuk mengaktifkan navigasi

Maraknya variasi minuman kopi seperti macchiato, cappuccino, es kopi susu gula aren dan turunan-turunannya berperan menjadi titik tengah manusia dengan segala gender dapat menikmati kopi di kedai kopi.

Istilah ‘Ngopi Cantik’,

Tanda Kopi Tak Lagi Maskulin

Istilah ‘Ngopi Cantik’,
Tanda Kopi Tak Lagi Maskulin

Budaya minum kopi memang lekat pada masyarakat Indonesia, khususnya laki-laki. Tak jarang minum kopi juga diasosiasikan dengan merokok, kegiatan yang identik dengan kepriaan. Namun, maskulinitas kopi perlahan tergeser dengan berkembangnya industri dan budaya mengopi.

Tren mengopi kian meningkat stabil dalam 20 tahun terakhir. Organisasi Kopi Internasional (ICO) mencatat konsumsi kopi domestik Indonesia meningkat 174 persen sejak 2000-2020, dengan rata-rata pertumbuhan 6,01 persen per tahun. Pertumbuhan terbesar tercatat pada konsumsi kopi 2005-2006 yang mencapai 25 persen. Meskipun persentase pertumbuhan tak terlalu signifikan, konsumsi kopi domestik Indonesia mengalami peningkatan stabil setiap tahunnya secara keseluruhan.

Berdasarkan data Google Trends, slang ‘ngopi cantik’ pertama kali muncul pada Januari 2004. Sampai sekarang, kepopuleran frasa ini mencapai puncaknya pada 24 Februari hingga 2 Maret 2019.

“Bahasa slang merekam budaya suatu zaman. Zaman dulu kita sering menggunakan bahasa-bahasa slang seperti asoy, lalu asyik, berkembang lagi menjadi ambyar dan lain-lain. Dulu kita kenal istilah nongkrong, JJS, sekarang kita kenal istilah nongki-nongki atau ‘ngopi cantik’,” jelas dosen dan ahli Bahasa Indonesia dari Universitas Multimedia Nusantara Niknik Kuntarto, Jumat (30/09/22). 

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ngopi atau mengopi berarti minum kopi. Cantik berarti elok, yang merujuk kepada wajah dan muka perempuan. 

Maka, secara pragmatik slang ‘ngopi cantik’ dapat diartikan sebagai kegiatan minum kopi bagi perempuan yang dilakukan dengan cantik, baik dari segi cara menikmati sajian kopi, interior kedai kopi, suasana yang indah, maupun mengopi dengan indah melalui pertemuan dengan seseorang. “Kegiatan [ngopi cantik] dapat diabadikan dengan cantik melalui foto atau video dan dapat dipublikasikan ke media sosial sebagai unggahan yang cantik pula,” lanjut Niknik.

Slang ‘ngopi cantik’ yang beredar saat ini menyimpan perjalanan pergeseran maskulinitas secangkir kopi. Frasa tersebut menjelaskan rangkaian pengalaman kita saat ini di kedai kopi. Tak hanya lagi minum kopi, di kedai kopi kita menikmati makanan pendamping, interior yang estetik, berbicara dengan teman diskusi, sampai mengabadikan momen dan mengunggahnya ke media sosial. Kegiatan ‘ngopi cantik’ pun diminati mayoritas kaum hawa, dan memodifikasi budaya ngopi yang sudah ada.

Meski ‘cantik’ dalam ‘ngopi cantik’ menunjukkan kepada suatu keindahan yang berhubungan dengan perempuan, kata ini mengalami perluasan makna sehingga dapat digunakan secara umum. Cantik juga bisa berarti indah dalam bentuk dan buatan (berhubungan dengan benda).

“Jika dihubungkan dengan kopi, kata cantik bisa dibubuhkan pada bentuk penyajian kopi yang cantik, tempat kedai kopi yang cantik, lingkungan atau alam tempat kedai itu berada yang cantik. Siapa yang bisa menikmati keindahan itu? Ya, benar, bisa perempuan atau laki-laki,” ujar Niknik. “Pada akhirnya, ‘ngopi cantik’ berhubungan dengan gaya hidup bagi siapa pun, baik perempuan maupun laki-laki.”

Ilustrasi ‘ngopi cantik’ (tirachardz/ Freepik)

Coffee connoisseur serta juri kejuaraan kopi nasional dan internasional Sylvia Feransia membagikan persepsinya tentang kopi, yang tak pernah ia anggap sebagai minuman yang maskulin.

“Kita beranggapan kopi sebagai minuman yang maskulin mungkin karena rasanya yang pahit, kencang, intens, pekat, hitam. Kalau zaman sekarang di mana specialty coffee lagi berkembang banget, itu kan karena rasanya, aromanya, yang floral dan fruity. Justru ini enggak maskulin amat ya. Malah lebih condong ke wanita,” jelas Sylvia pada Kamis (05/05/22).

Kopi spesialti yang diproses secara khusus dari penanaman hingga penyeduhan justru menonjolkan karakter-karakter tersembunyi yang tidak dimiliki kopi umumnya. Wangi buah, bunga, maupun rasa asam, kecut, dengan sedikit rasa manis membuat kopi spesialti keluar dari identitas maskulin. Warna kopi spesialti juga kini semakin terang layaknya teh, membuat visual minuman ini tak lagi mengintimidasi.

“Selama aku bekerja di coffee shop, malah yang aku lihat bisa mengapresiasi kualitas-kualitas kopi spesialti dan ngejar banget biasanya malah cewek,” sanggah Sylvia.

Kopi, Pusat Interaksi Sosial Segala Gender

Kopi, Pusat Interaksi Sosial Segala Gender

It’s a drink, drink has no gender [kopi adalah minuman, dan minuman tidak memiliki gender]. Semua orang bebas punya preferensi masing-masing dalam hal minuman yang mereka sukai,” ujar jurnalis pecinta kopi Halimah Sadiyah (31), Kamis (20/10/22). 

 

Halimah gemar minum kopi. Dalam sehari kerja, ia dapat menenggak dua cangkir kopi pada pagi dan sore untuk menangkal rasa kantuk. Ia mengecap dirinya sebagai coffee addict

“Kalau enggak minum kopi itu rasanya pusing, agak berat gitu kepalanya,” ujar Halimah. “Apalagi kalau bulan puasa, pas hari pertama enggak minum kopi itu jam 10 pagi sudah pusing.” 

 

Sama dengan Halimah, Lutfi Rakhmawati (35), ibu rumah tangga dan wanita karier yang bermukim di Depok ini mulai terbiasa minum secangkir kopi panas di pagi hari sejak satu dekade lalu. 

“Lama-lama [kopi] jatuhnya bukan jadi kebutuhan lagi, [tapi] jadi rutinitas yang mengidentifikasi seproduktif apa kita di hari itu, dari secangkir kopi,” ujar Lutfi pada Kamis (13/10/22). “Anything can happen, but first, coffee [apapun bisa terjadi, tapi tetap harus ngopi dulu].”

Dikonsumsi sebanyak dua miliar cangkir setiap harinya di seluruh dunia, kopi menjadi minuman favorit kedua setelah air putih. Menurut Briitish Coffee Association, 80 persen rumah tangga di Britania Raya membeli kopi instan untuk konsumsi di rumah. Kopi tubruk dan coffee pod sekali pakai menjadi favorit para milenial (umur 16-34) yang mencakup 16 persen dari total penjualan.

Efek kopi yang meningkatkan energi dan suasana hati membuat minuman ini menjadi bagian penting kehidupan banyak orang setiap hari. Menurut riset Roast and Post di Britania Raya, orang rata-rata minum dua cangkir kopi per harinya. 57 persen orang minum kopi saat sarapan, 34 persen orang minum kopi di antara waktu makan. 

 

Seperti minum kopi saat sarapan untuk menandakan hari dimulai, minum kopi pada sore hari menandakan waktunya istirahat sejenak, sehingga dinamakan coffee break. Ajang coffee break ini merupakan rangkaian yang sangat sosial. Tak jarang, frasa “ayo minum kopi” menjadi sinonim dengan “ayo mengobrol sebentar”. 


“Jadi, kopi itu kayak kode untuk break gitu. Kalau di kantorku enggak ada break dari jam segini sampai jam segini. Jadi kadang kita mengatur sendiri aja, misalnya sudah capek melihat layar laptop, terus teman ada yang ngajak ‘ayo ngopi dulu lah’,” ujar Halimah.

Beberapa substansi memiliki efek sinergis dengan interaksi sosial. Pemakaian substansi kafein menjadi pusat kita melakukan interaksi sosial, dan pemakaian substansi tersebut juga meningkatkan kepuasan yang kita dapatkan dari interaksi sosial itu sendiri, tak terkecuali kopi.

 

“Kopi memberikan kita alasan dan spontanitas untuk melakukan interaksi sosial,” tulis Tom Stafford pada artikel Psychology in the Coffee Shop.

 

Coffee break memfasilitasi sosialisasi antarkolega untuk berbagi keluh kesah dan rasa frustrasi, baik dalam hal profesional maupun personal. Secara tak sadar, coffee break memfasilitasi coping communities

Lutfi bercerita, kantornya memiliki budaya coffee run atau membeli kopi bersama para kolega. Sehabis makan siang, mereka menyempatkan diri ke kedai di belakang kantor untuk membeli es kopi. Di sana, Lutfi dapat bertemu dengan kolega kantor lainnya yang jarang ditemui dan memulai percakapan kecil. Tak jarang, coffee break dijadikan kesempatan untuk Lutfi membicarakan tentang pekerjaan dalam latar yang lebih santai. Pada hakikatnya, kegiatan coffee break yang jarang terencana mampu membentuk jaringan sosial yang longgar dan informal dalam situasi profesional. 

 

“Terus kebetulan kita ketemu dia pas coffee run, kita bisa secara kasual nyapa, tapi juga sambil ngingetin gitu. ‘Eh mas, dokumenku udah lama banget lho di kamu belum ditandatangani. Kenapa sih? Lagi banyak kerjaan ya?’ itu kayak lebih pas aja momennya,” ujar Lutfi. 

 

Kedai kopi pun menjadi pusat geografis interaksi sosial di luar latar rumah dan kantor yang memuaskan kita akan kebutuhan bersosialisasi. Jika kita ingin temu kangen dengan teman, pasti nominasi tempat pertama yang kita tawarkan adalah kedai kopi.

“Dengan menyediakan tempat interaksi sosial yang reguler tetapi tak terencana untuk masyarakat, kedai kopi punya peran dalam membentuk jaringan sosial yang mendorong nilai-nilai sipil,” tulis Tom Stafford. 

 

Walaupun sudah minum kopi setiap harinya, Halimah tetap suka pergi ke kedai kopi di akhir pekan, atau saat jenuh bekerja di kantor. Fungsi kedai kopi sebagai tempat bersosialisasi untuknya tak bisa digantikan dengan tempat umum lain. 

 

“Beda lah ya dengan mengobrol di restoran Padang. Enggak vibing [merasa enak] saja,” canda Halimah. “Misalnya, nih, aku ketemu teman dekat yang sudah dua minggu tidak bertemu, terus punya banyak cerita. Mengobrol panjangnya sih akan selalu di tempat ngopi.” 

Maraknya kedai kopi di era gelombang kedua dan ketiga membuat budaya ngopi semakin inklusif di masyarakat. Aspek minuman, makanan, interior, hingga fasilitas Wi-Fi dipenuhi sedemikian rupa agar pengunjung betah berlama-lama. 

 

“Kalau kita ke kedai kopi sekarang juga kan mulai dari ibu-ibu mengantar anak, bapak-bapak pensiunan sama gengnya, atau orang seperti aku sama teman kerjanya atau mahasiswa lagi mengerjakan tugas. Itu kan semuanya ada di situ,” uja Lutfi. 

Kedai kopi pun menjadi tempat berkumpulnya para insan dari berbagai macam latar belakang. Dari yang berkepentingan untuk bekerja, minum kopi, sampai yang bertemu teman setelah sekian lama, kedai kopi menjadi tempat publik inklusif yang terasa personal. Layaknya kafein yang tersebar dalam seluruh tubuh, manfaat kedai kopi sebagai tempat bersosialisasi meresap ke seluruh lapisan masyarakat. 

Persona secangkir kopi kini telah berganti. Dari warna hitam dan rasa pahit yang diminum orang ‘kuat’ menjadi minuman dengan banyak variasi yang terjangkau oleh semua gender. 

“Aku sih percaya ya kalau image [citra] kopi yang identik dengan bapak-bapak dan maskulinitas itu sudah jauh bergeser sekarang. Kopi itu bukan minuman elitis lagi, justru sekarang kopi itu jadi minuman yang merepresentasikan sesuatu yang jamak. Jadi, ini waktu yang tepat untuk menjadi pecinta kopi,” kata Lutfi.

Bangkitnya Perempuan dalam Industri Kopi

Baca juga:

Ekosistem Produksi Kopi di Hulu

Menjadi Satu Lewat Kopi di Kemiren

Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial
Instagram
WhatsApp