Memperhitungkan Kekuatan Perempuan Petani Kopi
Oleh: Gracia Yolanda Putri
Suara dentingan spatula dengan wajan terdengar kala adonan gula jawa disirami minyak panas. Dapur Faitun sudah sibuk menyiapkan kopi dan kudapan kucur, padahal waktu itu baru pukul delapan pagi.
“Ini namanya kue kucur kalau di sini bilangnya. Biasanya dimakan bareng kopi, enak banget,” ujar Faitun.
Sambil menggoreng kucur, perempuan berusia paruh baya itu juga merebus air untuk menyeduh kopi. Tepat dua sendok teh bubuk kopi excelsa diletakkan ke dalam cangkir, lalu diseduhnya dengan air mendidih.
“Kalau untuk ukuran cangkir kopi, harus dua sendok teh kopi bubuknya. Enggak boleh lebih, enggak boleh kurang, kalau enggak rasanya enggak pas” jelas perempuan berusia 45 tahun itu.
Sudah lima tahun sejak Faitun mulai menjamu tamu dengan secangkir kopi dan kudapan di kedai kecil buatan keluarganya di beranda rumahnya yang berada di Dusun Ampelgading, Desa Tamansari, Banyuwangi, Jawa Timur. Hitung-hitung untuk penghasilan tambahan sejak suaminya, Hanaki, pensiun dari perkebunan.
Kedai kecil tersebut dinamakan Sarang Kopi. Bermodalkan meja dan bangku kayu serta lingkungan asri nan sejuk dikelilingi pohon kopi, Faitun dan Hanaki menyajikan kopi untuk turis lokal hingga mancanegara di beranda rumah mereka.
“Silakan diminum dulu, mumpung masih panas,” ucap Faitun tersenyum. Secangkir kopi excelsa dan kue kucur mengisi perut dan menghangatkan kami dari semilir angin pagi khas pegunungan Ijen yang agak menusuk tulang.
Klik foto-foto di bawah ini untuk melihat takarir
Berlokasi di Lereng Gunung Ijen, Sarang Kopi berdiri pada ketinggian sekitar 600 meter di atas permukaan laut. Keluarga Faitun yang terdiri dari suami dan salah satu anaknya, Hengki, menanam kurang lebih 400 pohon kopi di tanah seluas setengah hektar. Mereka mengusahakan kebun kopi dari penanaman, pemrosesan, penyangraian, hingga menjualnya dalam bentuk bubuk ataupun seduh di Sarang Kopi.
Sarang Kopi datang dari sebuah rencana pasca pensiun dan pengalaman Hanaki mengurus kebun pemerintah yang membudidayakan luwak. Ia bermimpi untuk bisa mengusahakan kebun sendiri dan menghasilkan uang di hari tua. Didukung oleh teman-teman pemandu wisata jalur Kawah Ijen, ia pelan-pelan mengumpulkan sumber daya untuk membuka agrowisata luwak sejak 2015.
Banyak ketidakpastian ketika Hanaki memulai mimpi Sarang Kopi. Apalagi dengan biaya kuliah kedua anak laki-lakinya yang saat itu perlu dipikirkan, bagaimanapun caranya Sarang Kopi harus berhasil. Untungnya, Hanaki memiliki sang istri, Faitun, yang selalu mendukung.
“Lagian rezeki kan pasti ada, dia [Hanaki] maunya itu besar, apalagi kalau sama tani dia minat,” dukung Faitun.
Pada 2017, Hanaki telah berhasil memproduksi kopi luwak, arabika, robusta, dan excelsa siap seduh. Ketika ia pensiun di tahun yang sama, Sarang Kopi pun siap dibuka untuk menyajikan kopi kepada para turis lokal dan mancanegara.
Sebagai produsen kopi terbesar keempat di dunia pada 2020, Indonesia merupakan pemain penting rantai suplai kopi dunia. Dengan komoditas utama kopi robusta, kunci pertanian kopi Indonesia ada pada perkebunan rakyat.
Ketuk elemen untuk mengaktifkan navigasi
Luas perkebunan rakyat Indonesia mencapai 1,2 juta hektar pada 2019, dan bertanggung jawab atas 98,6 persen produksi kopi atau setara dengan 731,6 ribu ton kopi. Perkebunan rakyat biasanya setara atau kurang dari lima hektar dan dikelola oleh keluarga petani. Figur-figur seperti Hanaki dan Faitun dari Sarang Kopi inilah yang menjadi salah satu pemeran utama pada perkebunan rakyat.
Dalam pertanian kopi, pengelolaan kebun hingga panen merupakan masa krusial yang membutuhkan ketelatenan petani agar dapat menghasilkan biji kopi berkualitas tinggi sebelum pemrosesan.
Berbekal pelatihan di Pusat Pelatihan Kopi dan Kakao Jember sebelum pensiun, Hanaki menangani semua pekerjaan perkebunan yang membutuhkan pengetahuan dan keterampilan seperti menyetek dan memangkas ranting kopi.
Meskipun begitu, keluarganya turut belajar bertani kopi di bawah ajaran Hanaki agar dapat saling membantu pekerjaan perkebunan. Sementara itu, Faitun berperan besar dalam melayani tamu Sarang Kopi serta penjualan produk di muka, dan Hengki membantu banyak dalam menyangrai, menggiling, dan mengemas bubuk kopi, serta pemasaran digital. Ketiganya juga saling mengisi peran dalam hal pengeringan dan pemrosesan biji kopi.
Selain bertanggung jawab besar dalam melayani tamu Sarang Kopi, sebagai istri dari petani kopi Faitun juga memprioritaskan kewajibannya sebagai perempuan dalam rumah tangga. Bagi perempuan petani dalam budaya patriarki, ekspektasi ini menjadi beban ganda ketika ada kewajiban ekonomi yang sama besarnya.
“[Perempuan] punya kewajiban domestik yang selalu ada di kepala mereka. Pokoknya urusan anak, urusan belajar, urusan makan, dan urusan dapur itu harus mereka,” ujar Elok Mulyoutami, peneliti gender dan ekologi independen pada Kamis, (7/4/22).
Sama seperti Faitun, beban ganda ini juga dialami perempuan petani atau istri dari para petani kopi di seluruh Indonesia, tak terkecuali para perempuan petani kopi di Pagar Alam, Sumatera Selatan.
Beban ganda rumah tangga ini membuat para perempuan petani terpaksa mengesampingkan mempelajari ilmu dan keterampilan perkebunan. Alhasil, pengorbanan ini memperkeruh akses pembangunan kapasitas yang kebanyakan masih diprioritaskan untuk laki-laki petani.
Dalam riset Elok Mulyoutami bersama World Agroforestry (ICRAF) di Pagar Alam pada 2021, para perempuan petani berharap untuk dapat belajar dan mahir dalam melakukan pekerjaan perkebunan kopi agar dapat mengurus kebun mereka sendiri di tengah beban ganda mereka sebagai perempuan.
“Kalau di musim paceklik kan suami harus bekerja di luar desa untuk mendapatkan tambahan pendapatan,… Kalau kita (perempuan) bisa belajar stek dan memangkas (merempel) kita bisa bantu pekerjaan suami juga, dan hasil kebun kita akan lebih bagus. Kalau hanya mengandalkan suami saja, gimana pada saat mereka pergi ke luar kota?…”
-Ibu W2, perempuan, Padang Temu
Sumber: Mulyoutami, dkk., 2021, hal.22.
Perempuan petani kopi di Asia Tenggara sejak dulu sangat diandalkan dalam pekerjaan perkebunan yang membutuhkan ketelatenan dan tenaga besar seperti pemetikan, pemilihan, dan pengeringan biji kopi. Direktur Eksekutif Philippine Coffee Board Robert Fransisco mengatakan, “Perempuan lebih teliti dalam pemetikkan dan pemilihan – pekerjaan yang menjadi kunci utama kualitas.”
Berdasarkan riset pionir International Trade Forum 2008 mengenai keterlibatan perempuan petani dalam industri kopi, perempuan berperan besar dalam pekerjaan ladang (70 persen), panen (70 persen), dan pemilihan biji kopi (75 persen). Namun, keterlibatan perempuan petani untuk mengambil keputusan bisnis perdagangan kopi domestik dan ekspor masih sangat kecil.
Perempuan petani susah mengembangkan cakupan peran mereka dalam industri kopi selain pekerjaan manual yang menguras tenaga dan waktu. Pasalnya, 90 persen suplai kopi dunia ditanam di negara berkembang yang menganut kultur patriarki. Kesenjangan gender membelenggu para perempuan petani kopi untuk ikut campur di luar ladang, tak terkecuali di Indonesia.
Laporan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) pada 2011 memetakan masalah kesenjangan gender dalam perkebunan kopi. Akibat kultur patriarki dan beban ganda, perempuan tidak punya banyak kuasa dalam input lahan, pengambilan keputusan finansial, dan kesempatan untuk ikut kegiatan pembangunan kapasitas daripada lawan jenisnya.
“Perempuan enggak berani ngomong, itu kan kenyataannya. Kenyataan sekali. Terus kan mereka enggak pernah terlatih untuk bisa ngomong, enggak pernah terlatih untuk boleh berperan di luar [publik] oleh pasangannya,” tutur Elok Mulyoutami.
Riset Elok bersama ICRAF yang mendata peran perempuan dan laki-laki petani kopi di Pagar Alam, Sumatera Selatan, menunjukkan ada beberapa pekerjaan ladang yang kurang dipercayakan untuk perempuan karena kurangnya keterampilan berkebun. Di antaranya, kegiatan pemangkasan dan penanaman kopi, penyetekan kopi, penggilingan, serta penyemprotan pestisida dan pupuk.
Menceritakan hasil observasinya, Elok berkata para bapak-bapak petani khawatir istri mereka kenapa-kenapa bila melakukan pekerjaan perkebunan.
“Kalau soal pestisida sih kayaknya bapaknya, ‘nanti takut ibunya kena racun,’. Kalau yang pruning [pemangkasan] ya itu, kan susah bu itu [pohonnya] tinggi, nanti mereka harus pakai tangga memanjat untuk bisa memangkas,’” jelasnya.
Di balik rasa khawatir, beberapa bapak-bapak yang terdata dalam riset tersebut juga berpendapat bahwa perempuan petani tidak memiliki keterampilan yang memadai sehingga tidak diikutsertakan dalam pekerjaan ladang. Kurangnya keterampilan perempuan petani terjadi karena mereka kurang terlibat pada kegiatan pembangunan kapasitas. Perempuan petani dirasa tidak perlu, tidak bisa, atau tidak diperbolehkan mengikuti kegiatan karena takut pekerjaan rumah tangga akan terabaikan.
“Perempuan itu antara perlu dan tidak perlu mengikuti pelatihan. Perlu karena perempuan bisa mendapatkan ilmu dan menjadi pintar. Tidak perlu, karena perempuan cukup mendapatkan ilmu dari bapak-bapak sehingga perempuan tidak perlu mengikuti pelatihan sendiri. Kalau mengikuti pelatihan, khawatir pekerjaan rumah tangga akan terabaikan.”
-Bapak S, laki-laki, Muara Siban
Sumber: Mulyoutami, dkk., 2021, hal.23.
Sudah terbiasa tertahan untuk menggunakan kapasitas optimal mereka, beberapa perempuan petani Pagar Alam juga memilih patuh kepada para suami.
“Kalau dari sisi perempuannya ya mereka juga bilang, ‘saya enggak ini deh, karena itu biasanya urusan bapak-bapak, kita enggak pernah tahu,’ dan mereka juga enggak mau bertanggung jawab kalau misalnya [pekerjaan perkebunan] salah,” cerita Elok.
Pendiri Koperasi Kopi Wanita Gayo Rizkani Melati menanggapi kultur patriarki yang masih lestari pada masyarakat petani kopi, khususnya di Sumatera.
“Kalau misalnya di depan ada mertua, atau abang kita, kita para perempuan memilih diam. Karena apa? Karena rasa hormat yang tinggi kepada mereka, jadi kita sulit mengungkapkan perasaan,” ujar Rizkani pada Rabu (16/2/22).
Kondisi perempuan petani kopi yang kurang agensi akibat kultur patriarki pun sebenarnya berdampak pada produksi kopi secara keseluruhan dan menciptakan rantai permasalahan.
“Jadi perempuan enggak training [mendapat pelatihan], perempuan enggak punya ilmu. Laki-laki tidak available [tidak ada di tempat untuk mengurus kebun], perempuan tidak bisa melakukan pruning [pemangkasan], tidak ada yang ganti. Nah ini produksi menurun. Kalau produksi menurun, income [pendapatan] turun,” simpul Elok.
Riset di beberapa negara berkembang lainnya juga menunjukkan menurunnya produktivitas lahan kopi yang dimiliki/dikelola perempuan petani karena kurangnya kesempatan mengikuti kegiatan pembangunan kapasitas.
Riset oleh Sekabira dan Qaim pada 2017 menunjukkan pendapatan rumah tangga perempuan petani kopi di dua daerah Uganda lebih rendah 41 persen daripada pendapatan rumah tangga petani laki-laki. Hal ini disebabkan oleh perempuan petani yang kebanyakan menjual ceri kopi mentah yang harga lebih rendah daripada green bean yang sudah terproses. Kesenjangan ilmu pemrosesan ini terjadi karena perempuan tidak mendapatkan kesempatan pelatihan.
Sementara itu, riset Avila dan Useche di Kolombia dan Ekuador pada 2016 melaporkan pendapatan perkebunan kopi yang dikepalai perempuan lebih rendah 2,5 persen dari pada lahan miliki laki-laki. Meskipun tidak signifikan, riset ini menemukan perkebunan kopi milik perempuan jarang menerapkan teknik tumpang sari serta kurang variasi tanaman teduh, yang menyebabkan panen kopi tidak optimal. Ilmu teknik tumpang sari seperti ini seharusnya didapatkan pada kegiatan pembangunan kapasitas.
Meskipun Faitun tak terlalu terlibat pekerjaan perkebunan Sarang Kopi, ia turut membantu dalam pemrosesan kopi, khususnya pemilihan dan pengeringan biji kopi. Menggunakan proses natural dengan sinar matahari, halaman rumah Hanaki dan Faitun ditata menjadi tempat pengeringan biji kopi dengan beberapa penampan yang masing-masing panjangnya sekitar semeter.
“Sini kalau mau lihat Ibu milih biji kopi buat digoreng,” panggil Faitun. Kami menyeberang tanah lapang kecil yang memisahkan antara kompleks rumah dengan kebun kopi dan kandang luwak serta ternak.
Untungnya matahari sedang bersinar tegas Senin pagi itu, membuat sejumlah nampan biji kopi berhasil kering. Faitun mengambil biji kopi yang sudah kering dari penampan ke baskom saringan, lalu mengalirinya dengan air bersih untuk dicuci sebelum disangrai. Tangan telatennya mulai memisahkan biji kopi yang busuk dari yang bersih, dari sisa-sisa kulit dan getah yang menempel pada biji.
Selain membantu pemilihan dan pengeringan biji kopi, Faitun lah yang paling diandalkan untuk menjamu tamu di Sarang Kopi. Kopi seduhannya dari kebun sendiri serta kucur yang manis menjadi senjata ampuh agar para pengunjung betah berbincang dan menikmati suasana di sini.
Mayoritas pengunjung Sarang Kopi merupakan turis mancanegara, khususnya turis Perancis. Dalam seminggu, Sarang Kopi bisa empat kali menjamu turis mancanegara. Setiap harinya Sarang Kopi mendapatkan setidaknya 1 mobil pengunjung, atau setara delapan orang. Meski terlihat tak banyak, Sarang Kopi dapat meraup keuntungan bersih hingga lima juta rupiah setiap bulannya berkat koneksi dengan para pemandu wisata Kawah Ijen.
Hanaki mengaku kewalahan jika tak ada Faitun yang membantu melayani turis dengan kopi dan kudapan jika mereka datang. Ia menceritakan cerita lucu kala Faitun tak ada di tempat untuk membuat kopi. Pasalnya, waktu itu Sarang Kopi kewalahan saat lima mobil turis Eropa datang tiba-tiba. Faitun tak di tempat, Hanaki pun kewalahan membuat kopi dan kudapan sampai dibantu pemandu wisata yang mengiringi turis. Belum lagi dengan keterbatasan bahasa dan pengunjung yang terlalu banyak, beberapa pesanan sampai luput tak terbayar.
“Bikin kopi sendiri, ada yang enggak kebayar juga pengunjungnya,” ingat Hanaki. “Pas Ibu pulang, udah pulang semua [pengunjungnya]. ‘Duh, banyak banget, capek,’ katanya. Aku enggak ngerti apa-apa ya lagi kondangan,” balas Faitun sambil tertawa.
Sama seperti Faitun, beberapa perempuan petani kopi Pagar Alam mulai terjun mengusahakan pemasaran produk kopi buatan mereka sendiri agar dapat meningkatkan pendapatan mereka.
“Saya lihat prospek pekerjaan pemasaran produk kopi hampir di beberapa daerah, kita bisa melihat kemampuan negosiasi perempuan cukup ya,” ujar Elok. “Mereka [perempuan petani] membuat, memasarkan langsung ke konsumen, membuat toko elektronik. Walaupun mungkin yang melakukan lebih banyak anaknya, tapi tetap dipimpin ibunya. Perempuan lumayan bisa didorong perannya di situ,” lanjutnya.
Meskipun peran perempuan petani kopi dibatasi dalam pekerjaan ladang, mereka tetap mencoba membantu meningkatkan kondisi perekonomian keluarga mereka di bidang yang bisa mereka kerjakan. Dibarengi dengan mengurus rumah tangga, sebenarnya peran perempuan petani terbilang besar, dapat dilihat dari jam aktif mereka beraktivitas.
Riset ICRAF di Pagar Alam melaporkan bahwa perempuan sebenarnya berkontribusi 33,8 persen dari total pekerjaan perkebunan keluarga petani, dan memiliki waktu beraktivitas yang lebih lama dari laki-laki.
“Rata-rata perempuan itu punya peran, tapi tidak dikenali perannya, seperti itu,” jelas Elok. “Mereka [perempuan] kan punya andil, harus bisa juga menerima manfaat yang sama dengan yang lain ketika mereka ikut berkontribusi.”
Selain disebabkan oleh budaya patriarki yang masih lestari, pihak eksternal seperti organisasi atau komunitas pertanian juga memperkeruh kondisi kesenjangan gender petani kopi. Pasalnya, penyelenggara kegiatan pembangunan kapasitas dilaporkan memiliki bias dalam lebih banyak mengundang laki-laki petani. Jika pun kegiatan pembangunan kapasitas ditujukan untuk perempuan petani, tak jarang mereka tak bisa mengikuti karena sulit untuk meninggalkan tugas rumah tangga yang bentrok dengan jam ataupun lokasi pelatihan.
Pengambilan data gender dalam masyarakat petani kopi dapat menjadi langkah awal menuju penyeimbangan kesenjangan gender dalam pertanian kopi. Penyelenggara pelatihan diimbau untuk mengambil data gender perihal kebutuhan dan tanggung jawab perempuan agar dapat meluncurkan program yang efektif dan efisien untuk kedua belah pihak.
Sesederhana menyurvei waktu luang perempuan, prioritas perempuan dalam berkebun dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga, menambah agen perempuan agar komunikasi lebih nyaman, serta mengunjungi lahan perempuan. Langkah-langkah ini merupakan upaya penyelenggara untuk merangkul setiap petani dengan lensa gender. Meskipun data perempuan dalam pertanian kopi sangat bervariasi tiap daerah, biasanya garis besar masalahnya tetap sama.
“Kalau kita memang sangat concern [peduli] dengan gender, pada saat kita mau melakukan suatu kegiatan itu kita harus membuat analisis gender dulu. Analisis gender itu kita harus melihat laki, perempuan, tua, muda, dengan porsi persepsi kebutuhan dan kontribusi yang berbeda,” titah Elok. “Kita harus punya analisis [gender] itu, baru kita tahu harus diapakan,” ujarnya.
Hingga saat ini, Elok sebagai peneliti ekologi dan gender pun masih susah mengkuantitaskan kontribusi perempuan petani karena kurangnya data pendukung. Elok berharap pemerintah lewat Badan Pusat Statistik (BPS) dapat mempertajam data pendapatan keluarga dari kontribusi kedua gender, tak hanya kepala keluarganya saja. Data pegangan seperti ini dapat membantu riset lebih lanjut kontribusi perempuan, tak hanya dalam industri kopi.
“Kalau ada data-data BPS yang bisa menjelaskan sejauh itu di tingkat masyarakat, akan terlihat bahwa perempuan juga punya kontribusi terhadap pendapatan yang cukup besar,” jelasnya.
Setelah biji kopi sepenuhnya kering dan dicuci terakhir kali, Faitun membawa baskom berisi biji kopi tersebut ke tempat penyangraian tempat di belakang rumah Faitun dan Hanaki. Dengan menggunakan tungku api sederhana dari tanah liat, pekerjaan penyangraian dilakukan oleh Hanaki dan dibantu oleh Hengki.
Kuali tanah liat yang mereka miliki tak terlalu besar sehingga tidak dapat menyangrai kopi dalam jumlah besar. Setelah menyalakan api dengan korek dan kayu bakar, api ditunggu hingga panasnya stabil. Hanaki pun memasukkan biji kopi ke kuali tersebut. Karena masih tradisional, tungku api harus benar-benar dijaga panasnya agar biji kopi yang disangrai tidak gosong.
“Ini kita sangrai 15 menit saja biar nggak gosong. Kalau terlalu gosong nanti rasa aslinya enggak keluar,” arah Hanaki.
Mengurus Sarang Kopi tentunya membutuhkan sinergisme antara Hanaki, Faitun, dan Hengki. Masing-masing mahir dalam salah satu aspek rantai produksi kopi. Jika Faitun menjadi jagonya dalam menjamu tamu dan pengeringan kopi, Hanaki dalam berkebun dan penyangraian, sedangkan Hengki yang mengurus pengemasan bubuk kopi dan penjualan lewat sarana komunikasi.
Sarang Kopi kini pelan-pelan mengembangkan sumber daya mereka. Membangun homestay yang lebih dekat dengan lokasi, serta sempat mengajak para tetangga ikut mengambil bagian menjamu tamu. Kendati terbelenggu, Sarang Kopi menabung sambil menunggu penghujung pandemi Covid-19, saat aturan larangan wisata menjadi lebih longgar.
Sama seperti mengelola Sarang Kopi, pada akhirnya memberdayakan perempuan petani kopi membutuhkan sinergisme semua lapisan masyarakat dan bukan soal menempatkan perempuan di atas laki-laki. Justru dengan memberikan keberdayaan untuk perempuan agar bisa ikut kegiatan pelatihan dan pekerjaan perkebunan yang biasa didominasi laki-laki, kedua gender dapat saling membantu pekerjaan pertanian agar mendapatkan produktivitas optimal.
Sejak 2011, FAO mencatat bahwa menyetarakan akses program pembangunan kapasitas untuk perempuan petani akan meningkatkan produksi perkebunan milik perempuan di negara berkembang sebanyak 20 sampai 25 persen, sehingga menggenjot total produksi negara sampai 2,5-4 persen. Angka ini setara dengan mengurangi jumlah orang kelaparan di dunia sebanyak 100 sampai 150 juta orang.
Sejak 2011, FAO mencatat bahwa menyetarakan akses program pembangunan kapasitas untuk perempuan petani akan meningkatkan produksi perkebunan milik perempuan di negara berkembang sebanyak 20 sampai 25 persen, sehingga menggenjot total produksi negara sampai 2,5-4 persen. Angka ini setara dengan mengurangi jumlah orang kelaparan di dunia sebanyak 100 sampai 150 juta orang.
Perubahan pola pikir harus dilakukan untuk semua lapisan masyarakat. Menyadari perempuan akan keberdayaan mereka sudah benar. Tetapi jika tidak dibarengi dengan mendorong laki-laki agar berpikiran lebih terbuka, komunitas bisa terpecah belah.
“Jangan sampai kita mengubah mindset [pola pikir] untuk perempuannya, sementara ujung-ujungnya ada hal yang tidak diinginkan. Harus dilakukan barengan, laki-laki petani harus diberdayakan juga,” kata Elok.
Intervensi dari pihak luar juga tak bisa langsung dipaksakan kepada masyarakat akar rumput. Jangan sampai niat membantu menambah beban ganda perempuan. Oleh karena itu, memberdayakan perempuan merupakan perjalanan yang panjang dan pelan. Target pemberdayaan perempuan ini menjadi satu dari 17 Tujuan Pembangunan Keberlanjutan Perserikatan Bangsa-bangsa untuk 2030.